Gerakan Teologi pembebasan yang berke-mbang di Amrika Latin, bukanlah gerakan yang baru. Upaya untuk membebaskan umat dari penindasan baik oleh dosa, struktur dan masalah sosial telah ada bahkan sejak dalam dunia perjanjian lama. Pada kesempatan kali ini saya akan menulis tentang teologi pembebasan dalam Perjanjian Lama (PL) yang merujuk pada kisah penciptaan, peristiwa eksodus, tahun Yobel dan kisah Ester yang membebaskan Bangsa Yahudi dari jeratan Haman. Tulisan ini dibuat dalam rangka mata kuliah teologi pembebasan. Semoga bermanfaat.
1.
Makna Teologi Pembebasan dalam Cerita Penciptaan .
Kejadian
1:1-31 menceritakan tentang proses penciptaan dunia oleh Allah. Terdapat pada
bagian pertama dalam Alkitab membuat teks ini tidak asing lagi untuk
dibicarakan. Semenjak masa kanak-kanak sebagian besar keluarga kristen
menceritakan kisah ini untuk menambah pengetahuan alkitab bagi anak, termasuk
saya. Pendekatan tafsir yang digunakan untuk memahami teks ini juga beda-beda.
Ada yang menggunakan pendekatan kritik historis, naratif, ideologi, feminis,
postkolonial, dll. Dalam hubungannya dengan memahami teologi pembebasan dalam
PL, maka teks ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan hal tersebut. Menurut
Alkitab Terjemahan baru dikatakan dalam ayat 1 dan 2 bahwa “pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera
raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” Sedangkan dalam
alkitab terjemahan BIS dikatakan bahwa “Pada
mulanya, waktu Allah mulai menciptakan alam semesta, bumi belum berbentuk, dan masih kacau-balau. Samudra yang
bergelora, yang menutupi segala sesuatu, diliputi oleh gelap gulita, tetapi
kuasa Allah bergerak di atas permukaan air”. Sejak awal ketika Allah hendak
menciptakan bumi ini, bumi ada dalam keadaan kacau balau. Penciptaan yang
dilakukan Allah kemudian mengambil alih keadaan kacau balau tadi menjadi lebih
teratur dan tertata sehingga jadilah bumi seperti yang ada. Keadaan bumi yang belum berbentuk dan kosong
menunggu sentuhan kreatif Allah. Kekosongan yang berbentuk itu juga dilukiskan
sebagai gelap-gulita menutupi samudera raya (1:2) karena tindakan Allah untuk
menyempurnakan ciptaan-Nya belum dikerjakan, namun akan dikerjakan. Pekerjaan
Pertama Allah bagi bumi adalah mengatasi kekacaubalauan dengan sistem yang
lebih tertata untuk kemashlahatan bumi nantinya dengan segenap penghuni bumi.
Setelah
Allah menciptakan bumi selama 6 hari secara sistematis maka manusia
dimandatkan-Nya untuk menjaga dan mengusahakan bumi. Manusia dilihat sebagai
mandataris Allah untuk mengelolah semua kepemilikan Allah. Kehadiran manusia
haruslah menjadi “penyelamat” dan “pemelihara” bagi sesamanya dan seluruh
semesta. Jika pada akhirnya manusia
bertindak semena-mena terhadap alam dan sesama sehingga menyebabkan
ketidakadilan dan penindasan maka tindakan itu adalah penyimpangan terhadap
perintah Allah. Pada titik inilah manusia mengingkari Tugasnya sebagai
mandataris Allah. Jika dilihat dalam perspektif teologi pembebasan maka kita
akan menyadari bahwa sejak awal Allah menciptakan dunia beserta segala isinya
tidak lain supaya setiap warga semesta bertindak untuk saling memelihara dan
menghidupi. Ia mengendaki terjadi tatanan yang indah dan rapi dalam bumi,
seperti yang telah diusahakan-Nya sejak awal untuk mengatasi kekacaubalauan
yang terjadi. Oleh karena itu, manusia yang
adalah gambar dan rupa Allah juga
seharusnya bertindak sebagai inisyator mengatasi situasi kacau balau seperti
kemiskinan, ketidakadilan, pelecehan hak-hak hidup manusia, perdagangan
manusia, eksploitasi alam, dll. Bukan sebaliknya justru menjadi penyebab
situasi kacau balau dalam dunia. Hanya dengan mengahayati secara sungguh tugasnya
sebagai mandataris Allah yang saling menghidupkan maka dapat terpelihara
tatanan hidup yang jauh dari tohu wavohu.
2. Peristiwa Eksodus (Kel. 13:1-22)
Peristiwa
eksodus atau keluarnya Bangsa Israel dari tanah Mesir sering dilihat sebagai
mahakarya Allah yang membebaskan umat dari belenggu penindasan. Betapa tidak,
umat yang selama ratusan tahun terkungkung dalam kerja paksa, pemerkosaan hak-hak
asasi dan perbudakan kini terbebas sudah. Namun, hal itu bukanlah atas usaha
Israel melainkan karena inisyatif Allah untuk menolong dengan cara mengeluarkan
bangsa besar itu dari tempat penindasan menuju tempat yang berlimpah-limpah
susu dan madu. Pembebasan ini bersifat holistik bagi umat Israel, sebab
berhubungan dengan seluruh tatanan hidup bangsa yakni terbebas dari
ketidakadilan struktural, ketidakadilan sosial, politik, ekonomi, hukum dan
agama. Pembebasan ini secara langsung
maupun tidak langsung telah mentransformasikan kehidupan Israel menjadi bangsa
yang lebih baik dibandingkan sewaktu berada di Mesir. Secara umum dan singkat,
peristiwa eksodus adalah peristiwa pembebasan suatu bangsa dari keterpurukan.
Namun, ketika kita melihatnya dari sudut pandang lain, patutlah kita
pertanyakan bahwa apakah benar peristiwa eksodus adalah peristiwa pembebasan
secara holistik dalam hubungan dengan sesama manusia yang bukan Israel? Menurut saya TIDAK sepenuhnya. Peristiwa ini
bermakna paradoksial. Di satu sisi melalui peristiwa eksodus Allah membebaskan Bangsa
Israel. Ia melepaskan mereka dari keterpusukan dan perbudakan. Namun, peristiwa
pasca eksodus menurut saya adalah malapetaka bagi bangsa lain. Bagaimana tidak, mereka menuju tanah yang
telah berpenduduk yang dengan kata lain bukanlah lahan kosong yang bebas untuk
ditempati. Akhirnya dengan mengatasnamakan umat pilihan Allah yang menerima
janji pemberian tanah, Israel justru menindas bangsa lain. Tindakan ini oleh
penulis Alkitab (ban. Kisah-kisah perang dalam kitab Yosua) dilihat sebagai
kehendak Allah. Dan Allah pun terkesan diam melihat perampasan itu terjadi. Apa yang pernah mereka alami di tanah Mesir
kini mereka lakukan lagi bagi bangsa lain yakni merampas hak-hak hidup dan
harta bangsa Kanaan. Sampai pada titik ini maka saya rasa kita harus
mempertanyakan lagi, benarkah eksodus adalah peristiwa pembebasan?.
3. Tahun Yobel (Imamat 25:1-22)
Imamat
25:1-22 menurut saya menggambarkan tentang rancangan damai sejahterah Allah bagi
keseimbangan semua ciptaan izinkan saya untuk menyebutnya sebagai tahun
kemanusiaan. Penetapan Tahun Yobel bagi tatanan hidup Bangsa Israel merupakan
tindakan Allah untuk memanusiakan manusia, membebaskan yang tertindas baik dari
pihak manusia maupun alam semesta. Dalam hubungannya dengan sesama manusia,
tahun yobel merupakan momment pembebas bagi mereka yang tertindas. Melalui
moment ini Allah mengajak umat agar tidak saling memperbudak satu dengan yang
lain karenanya dalam rangka menyadarkan umat dari tindak memperbudak Allah
membangkitkan ingatan umat tentang peristiwa perbudakan di Tanah Mesir.
Allah mengkehendaki umatnya menjadi pelopor keadilan bagi manusia maupun
semesta. Allah tidak pernah membedakan manusia yang kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah, atau yang berkuasa dan
yang tidak berdaya. Sebaliknya ia Ia mengajarkan cara berbela rasa dengan
sesama yang kekurangan. Umat yang berkelimpahan harus menyokong mereka yang
sedang dilanda kegagalan panen dengan meminjamkan tanpa bunga (36-37). Mereka yang
jatuh miskin harus diperlakukan secara manusiawi (39-43). Seluruh tanah Kanaan
yang kelak akan menjadi milik pusaka mereka ialah milik bersama. Maka berkat Allah harus dinikmati bersama, bukan
hanya oleh orang-orang tertentu, apalagi dengan berdiri di atas penderitaan
sesama yang sedang gagal. Kalau ada sesama umat yang jatuh miskin lalu menjual
diri pada orang-orang asing di sekeliling mereka, sesama umat harus mau menebus mereka, tanpa perlu menunggu
tahun Yobel tiba,
tetapi dengan menghitung harga sejumlah tahun-tahun menuju Yobel tersebut (47-55).
tetapi dengan menghitung harga sejumlah tahun-tahun menuju Yobel tersebut (47-55).
Dalam
hubungannnya dengan Alam semesta, tahun yobel mengatur tentang perlakuan
manusia terhadap tanah. Setelah Bangsa
Israel sudah sampai ke tanah kanaan, mereka harus menghitung 7 tahun sabat (sama dengan 49 tahun), dan sampai tahun ke 50, mereka harus
memperdengarkan sangkakala pada waktu tanah juga harus dibebaskan agar dapat
meregenerasikan dirinya sendiri demi menjamin kemakmuran manusia. Tahun yobel
bukan hanya tahun kemanusiaan tetapi juga tahun kebebasan bagi alam. Melalui
aturan ini, Allah hendak mengajar manusia agar lebih menghargai tanah sebagai
sumber hidup dengan tidak secara terus menerus memaksakan tanah itu untuk
“bekerja”. Bagi umat yang bermasalah dengan tanah-tanah yang digadaikan maka di
tahun yobel penggadaian tanah itu dapat dibebaskan. Saya melihat ada upaya
Allah untuk mengajar manusia agar tidak menjadikan tanah sebagai sarana
menjajah dan memperbudak orang lain karena tanah ada untuk menghidupi bukan
menindas sesama. Di era modern seperti ini, apakah aturan tahun yobel masih
dapat diterapkan? Dengan cara bagaimanakan ahun yobel itu akan kita terapkan?
Apakah tahun yobel dapat direformulasikan sesuai konteks saat ini? ini adalah
beberapa pertanyaan yang terbesit dipikiran saya saat menulis makalah ini.
Semoga dalam pembahasan kali ini, saya juga menemukan jawabannya.
4.
Pembebasan oleh Perempuan
Dalam
sejarah Perjanjian Lama banyak menggambarkan tokoh-tokoh heroik yang membela Bangsa
Israel. Allah juga digambarkan memilih banyak laki-laki untuk melakukan
pembebasan bagi bangsa yang tertindas misalnya Musa, Yosua, para hakim Israel,
Daud dll. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa Alkitab anti terhadap keterlibatan
perempuan dalam karya penyelamatan Allah. Ester, menjadi salah satu tokoh
perempuan yang dipakai Allah untuk membebaskan Bangsa Israel dari jeratan
Haman.
Ketika
Bangsa Israel berhadapan dengan konspirasi untuk membinasakan mereka, maka
Allah melalui Ester bertindak untuk membela kaumnya. Tidak sama seperti para
hakim-hakim israel terdahulu atau seperti Yosua pada masanya yang menggunakan
kekerasan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, Ester dengan naluri
perempuannya mengambil jalan negosiasi
damai. Naluri perempuan yang lemah lembut disertai kecerdasan dari seorang Ester
ternyta mampu “mengambil hati” Raja Ahaysweros sehingga masalah konspirasi yang
direncanakan Haman untuk membinasakan bangsa Yahudi dapat teratasi. Mengapa
saya mengambil perikop ini dalam kaitannya dengan teologi pembebasan? Menurut
saya, perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan tidak harus menggunakan
cara kasar. Saling membunuh, saling menyudutkan merupakan metode yang tidak
akan menyelesaikan ketidakadilan justru akan semakin menambah masalah tersebut.
Ester, menunjukan pada kita bahwa ada sistem yang perlu dilewati tanpa harus
menggunakan kekerasan. Dan menurut saya hal itu dipengaruhi oleh naluri Ester
sebagai seorang perempuan. Perempuan menyimpan sisi kelembutan dalam hatinya
dan kelembutan itu merupakan senjata paling baik untuk memenangkan hati banyak
orang. Ester membuktikannya pada raja Ahaysweros. Jika Ester bertindak keras
atau dalam bahasanya orang Maluku “kapista”
(bertindak dengan tegas tanpa pandang bulu) maka belum tentu masalah ini dapat
terselesaikan. Tetapi karena kelembutan hantinya segala sesuatu dapat
terselesaikan. Dalam mengupayakan keadilan dan perdamaian, perempuan juga harus
dilibatkan. Karena perempuan adalah ibu, anak dan istri yang memiliki
sensitifitas yang tinggi dalam menghadapi persoalan tentu dengan tidak
mengandalkan kekerasan.
Dari
segi pemaknaan dan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, kita pun harus banyak
belajar dari Ester. Sebagai perempuan yang hidup dalam budaya patriakhi Ester
tidak mengurung diri untuk tetap dalam kelompok yang termarginal melainkan ia
menyadari bahwa ada peran penting yang harus dimainkan oleh siapa saja ketika
menghadapi masalah ketidakadilan. Dengan kesadaran terhadap peran sebagai
pembela kebenaran dan pejuang hak hidup banyak orang Ester mampu merobohkan
dinding patriaki yang selama ini mengurung dirinya bersama seluruh perempuan
sebagai korban-korban perang dan kebijakan. Sebagaimana yang telah dilakukan Ester
dalam pemaknaan terhadap peran-peran kekuasaan di atas maka hal ini harusnya
menjadi batu loncatan untuk semua perempuan agar bangkit dan merevitalisasi
peran dan fungsi dalam segala segi kehidupan. Perempuan tidaklah harus kembali
menjadi korban-korban budaya, kekuasaan, peperangan atau bahkan kebijakan para
penguasa melainkan menjadi mitra yang sepadan dalam menjalankan berbagai tugas
dan tanggung jawab di segala segi kehidupan.
Kesimpulan
Setelah
melihat peristiwa-peristiwa dalam teks perjanjian lama di atas maka, dalam hubungan dengan teologi pembebasan dapat
saya simpulkan bahwa pembebasan adalah situasi yang terbebas secara holistik dari suasana kacau balau. Baik dalam bidang ekonomi,
politik, sosial, budaya hingga keagamaan. Secara teologis, ketika Allah menciptakan
dunia Ia menciptakan dengan baik bahkan sangat baik. Yang membuat dunia ini
menjadi hancur adalah karena manusia memberontak dan melawan perintah Allah. Teologi
pembebasan haruslah bertolak dari nilai-nilai yang terkandung dalam penciptaan
yakni pada dasarnya segala ciptaan Allah adalah baik. Sehingga tugas dari pembebasan tidak lain adalah untuk mengembalikan segala
yang tidak baik itu menjadi baik seperti apa yang dilakukan Allah pada mulanya.
Dalam upaya-upaya
pembebasan misalnya seperti rekonsiliasi, perempuan juga harus dilibatkan. Seperti
Ester, perempuan juga merupakan makhluk yang cerdas dan memiliki kepekaan
terhadap penyelesaian masalah sehingga perempuan tidak bisa diabaikan dalam
proses-proses rekonsilias
Tidak ada komentar:
Posting Komentar