Sabtu, 14 Oktober 2017

Teologi Pembebasan dalam Perjanjian Lama (PL)




 Image result for  pembebasan 

Gerakan Teologi pembebasan yang berke-mbang di Amrika Latin, bukanlah gerakan  yang baru. Upaya untuk membebaskan umat dari penindasan baik oleh dosa, struktur dan masalah sosial telah ada bahkan sejak dalam dunia perjanjian lama. Pada kesempatan kali ini saya akan menulis tentang teologi pembebasan dalam Perjanjian Lama (PL) yang merujuk pada kisah penciptaan, peristiwa eksodus, tahun Yobel dan kisah Ester yang membebaskan Bangsa Yahudi dari jeratan Haman. Tulisan ini dibuat dalam rangka  mata kuliah teologi pembebasan. Semoga bermanfaat.
1. Makna Teologi Pembebasan dalam Cerita Penciptaan .
Kejadian 1:1-31 menceritakan tentang proses penciptaan dunia oleh Allah. Terdapat pada bagian pertama dalam Alkitab membuat teks ini tidak asing lagi untuk dibicarakan. Semenjak masa kanak-kanak sebagian besar keluarga kristen menceritakan kisah ini untuk menambah pengetahuan alkitab bagi anak, termasuk saya. Pendekatan tafsir yang digunakan untuk memahami teks ini juga beda-beda. Ada yang menggunakan pendekatan kritik historis, naratif, ideologi, feminis, postkolonial, dll. Dalam hubungannya dengan memahami teologi pembebasan dalam PL, maka teks ini juga dapat dipakai untuk menjelaskan hal tersebut. Menurut Alkitab Terjemahan baru dikatakan dalam ayat 1 dan 2 bahwa “pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” Sedangkan dalam alkitab terjemahan BIS dikatakan bahwa “Pada mulanya, waktu Allah mulai menciptakan alam semesta, bumi belum berbentuk, dan masih kacau-balau. Samudra yang bergelora, yang menutupi segala sesuatu, diliputi oleh gelap gulita, tetapi kuasa Allah bergerak di atas permukaan air”. Sejak awal ketika Allah hendak menciptakan bumi ini, bumi ada dalam keadaan kacau balau. Penciptaan yang dilakukan Allah kemudian mengambil alih keadaan kacau balau tadi menjadi lebih teratur dan tertata sehingga jadilah bumi seperti yang ada.  Keadaan bumi yang belum berbentuk dan kosong menunggu sentuhan kreatif Allah. Kekosongan yang berbentuk itu juga dilukiskan sebagai gelap-gulita menutupi samudera raya (1:2) karena tindakan Allah untuk menyempurnakan ciptaan-Nya belum dikerjakan, namun akan dikerjakan. Pekerjaan Pertama Allah bagi bumi adalah mengatasi kekacaubalauan dengan sistem yang lebih tertata untuk kemashlahatan bumi nantinya dengan segenap penghuni bumi.  
Setelah Allah menciptakan bumi selama 6 hari secara sistematis maka manusia dimandatkan-Nya untuk menjaga dan mengusahakan bumi. Manusia dilihat sebagai mandataris Allah untuk mengelolah semua kepemilikan Allah. Kehadiran manusia haruslah menjadi “penyelamat” dan “pemelihara” bagi sesamanya dan seluruh semesta.  Jika pada akhirnya manusia bertindak semena-mena terhadap alam dan sesama sehingga menyebabkan ketidakadilan dan penindasan maka tindakan itu adalah penyimpangan terhadap perintah Allah. Pada titik inilah manusia mengingkari Tugasnya sebagai mandataris Allah. Jika dilihat dalam perspektif teologi pembebasan maka kita akan menyadari bahwa sejak awal Allah menciptakan dunia beserta segala isinya tidak lain supaya setiap warga semesta bertindak untuk saling memelihara dan menghidupi. Ia mengendaki terjadi tatanan yang indah dan rapi dalam bumi, seperti yang telah diusahakan-Nya sejak awal untuk mengatasi kekacaubalauan yang terjadi.  Oleh karena itu, manusia yang adalah  gambar dan rupa Allah juga seharusnya bertindak sebagai inisyator mengatasi situasi kacau balau seperti kemiskinan, ketidakadilan, pelecehan hak-hak hidup manusia, perdagangan manusia, eksploitasi alam, dll. Bukan sebaliknya justru menjadi penyebab situasi kacau balau dalam dunia. Hanya dengan mengahayati secara sungguh tugasnya sebagai mandataris Allah yang saling menghidupkan maka dapat terpelihara tatanan hidup yang jauh dari  tohu wavohu.
2.  Peristiwa Eksodus (Kel. 13:1-22)
Peristiwa eksodus atau keluarnya Bangsa Israel dari tanah Mesir sering dilihat sebagai mahakarya Allah yang membebaskan umat dari belenggu penindasan. Betapa tidak, umat yang selama ratusan tahun terkungkung dalam kerja paksa, pemerkosaan hak-hak asasi dan perbudakan kini terbebas sudah. Namun, hal itu bukanlah atas usaha Israel melainkan karena inisyatif Allah untuk menolong dengan cara mengeluarkan bangsa besar itu dari tempat penindasan menuju tempat yang berlimpah-limpah susu dan madu. Pembebasan ini bersifat holistik bagi umat Israel, sebab berhubungan dengan seluruh tatanan hidup bangsa yakni terbebas dari ketidakadilan struktural, ketidakadilan sosial, politik, ekonomi, hukum dan agama.  Pembebasan ini secara langsung maupun tidak langsung telah mentransformasikan kehidupan Israel menjadi bangsa yang lebih baik dibandingkan sewaktu berada di Mesir. Secara umum dan singkat, peristiwa eksodus adalah peristiwa pembebasan suatu bangsa dari keterpurukan. Namun, ketika kita melihatnya dari sudut pandang lain, patutlah kita pertanyakan bahwa apakah benar peristiwa eksodus adalah peristiwa pembebasan secara holistik dalam hubungan dengan sesama manusia yang bukan Israel?  Menurut saya TIDAK sepenuhnya. Peristiwa ini bermakna paradoksial. Di satu sisi melalui peristiwa eksodus Allah membebaskan Bangsa Israel. Ia melepaskan mereka dari keterpusukan dan perbudakan. Namun, peristiwa pasca eksodus menurut saya adalah malapetaka bagi bangsa lain.  Bagaimana tidak, mereka menuju tanah yang telah berpenduduk yang dengan kata lain bukanlah lahan kosong yang bebas untuk ditempati. Akhirnya dengan mengatasnamakan umat pilihan Allah yang menerima janji pemberian tanah, Israel justru menindas bangsa lain. Tindakan ini oleh penulis Alkitab (ban. Kisah-kisah perang dalam kitab Yosua) dilihat sebagai kehendak Allah. Dan Allah pun terkesan diam melihat perampasan itu terjadi.  Apa yang pernah mereka alami di tanah Mesir kini mereka lakukan lagi bagi bangsa lain yakni merampas hak-hak hidup dan harta bangsa Kanaan. Sampai pada titik ini maka saya rasa kita harus mempertanyakan lagi, benarkah eksodus adalah peristiwa pembebasan?.
3.    Tahun Yobel (Imamat 25:1-22)
Imamat  25:1-22 menurut saya menggambarkan  tentang rancangan damai sejahterah Allah bagi keseimbangan semua ciptaan izinkan saya untuk menyebutnya sebagai tahun kemanusiaan. Penetapan Tahun Yobel bagi tatanan hidup Bangsa Israel merupakan tindakan Allah untuk memanusiakan manusia, membebaskan yang tertindas baik dari pihak manusia maupun alam semesta. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, tahun yobel merupakan momment pembebas bagi mereka yang tertindas. Melalui moment ini Allah mengajak umat agar tidak saling memperbudak satu dengan yang lain karenanya dalam rangka menyadarkan umat dari tindak memperbudak  Allah  membangkitkan ingatan umat tentang peristiwa perbudakan di Tanah Mesir. Allah mengkehendaki umatnya menjadi pelopor keadilan bagi manusia maupun semesta. Allah tidak pernah membedakan manusia yang kaya dan yang miskin, yang  kuat dan yang lemah, atau yang berkuasa dan yang tidak berdaya. Sebaliknya ia Ia mengajarkan cara berbela rasa dengan sesama yang kekurangan. Umat yang berkelimpahan harus menyokong mereka yang sedang dilanda kegagalan panen dengan meminjamkan tanpa bunga (36-37). Mereka yang jatuh miskin harus diperlakukan secara manusiawi (39-43). Seluruh tanah Kanaan yang kelak akan menjadi milik pusaka mereka ialah milik bersama. Maka  berkat Allah harus dinikmati bersama, bukan hanya oleh orang-orang tertentu, apalagi dengan berdiri di atas penderitaan sesama yang sedang gagal. Kalau ada sesama umat yang jatuh miskin lalu menjual diri pada orang-orang asing di sekeliling mereka, sesama umat  harus mau menebus mereka, tanpa perlu menunggu tahun Yobel tiba,
tetapi dengan menghitung harga sejumlah tahun-tahun menuju Yobel tersebut (47-55).
Dalam hubungannnya dengan Alam semesta, tahun yobel mengatur tentang perlakuan manusia terhadap tanah. Setelah  Bangsa Israel sudah sampai ke tanah kanaan, mereka harus menghitung 7 tahun sabat  (sama dengan 49 tahun),  dan sampai tahun ke 50, mereka harus memperdengarkan sangkakala pada waktu tanah juga harus dibebaskan agar dapat meregenerasikan dirinya sendiri demi menjamin kemakmuran manusia. Tahun yobel bukan hanya tahun kemanusiaan tetapi juga tahun kebebasan bagi alam. Melalui aturan ini, Allah hendak mengajar manusia agar lebih menghargai tanah sebagai sumber hidup dengan tidak secara terus menerus memaksakan tanah itu untuk “bekerja”. Bagi umat yang bermasalah dengan tanah-tanah yang digadaikan maka di tahun yobel penggadaian tanah itu dapat dibebaskan. Saya melihat ada upaya Allah untuk mengajar manusia agar tidak menjadikan tanah sebagai sarana menjajah dan memperbudak orang lain karena tanah ada untuk menghidupi bukan menindas sesama. Di era modern seperti ini, apakah aturan tahun yobel masih dapat diterapkan? Dengan cara bagaimanakan ahun yobel itu akan kita terapkan? Apakah tahun yobel dapat direformulasikan sesuai konteks saat ini? ini adalah beberapa pertanyaan yang terbesit dipikiran saya saat menulis makalah ini. Semoga dalam pembahasan kali ini, saya juga menemukan jawabannya.
4. Pembebasan oleh Perempuan
Dalam sejarah Perjanjian Lama banyak menggambarkan tokoh-tokoh heroik yang membela Bangsa Israel. Allah juga digambarkan memilih banyak laki-laki untuk melakukan pembebasan bagi bangsa yang tertindas misalnya Musa, Yosua, para hakim Israel, Daud dll. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa Alkitab anti terhadap keterlibatan perempuan dalam karya penyelamatan Allah. Ester, menjadi salah satu tokoh perempuan yang dipakai Allah untuk membebaskan Bangsa Israel dari jeratan Haman.
Ketika Bangsa Israel berhadapan dengan konspirasi untuk membinasakan mereka, maka Allah melalui Ester bertindak untuk membela kaumnya. Tidak sama seperti para hakim-hakim israel terdahulu atau seperti Yosua pada masanya yang menggunakan kekerasan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, Ester dengan naluri perempuannya mengambil jalan  negosiasi damai. Naluri perempuan yang lemah lembut disertai kecerdasan dari seorang Ester ternyta mampu “mengambil hati” Raja Ahaysweros sehingga masalah konspirasi yang direncanakan Haman untuk membinasakan bangsa Yahudi dapat teratasi. Mengapa saya mengambil perikop ini dalam kaitannya dengan teologi pembebasan? Menurut saya, perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan tidak harus menggunakan cara kasar. Saling membunuh, saling menyudutkan merupakan metode yang tidak akan menyelesaikan ketidakadilan justru akan semakin menambah masalah tersebut. Ester, menunjukan pada kita bahwa ada sistem yang perlu dilewati tanpa harus menggunakan kekerasan. Dan menurut saya hal itu dipengaruhi oleh naluri Ester sebagai seorang perempuan. Perempuan menyimpan sisi kelembutan dalam hatinya dan kelembutan itu merupakan senjata paling baik untuk memenangkan hati banyak orang. Ester membuktikannya pada raja Ahaysweros. Jika Ester bertindak keras atau dalam bahasanya orang Maluku “kapista” (bertindak dengan tegas tanpa pandang bulu) maka belum tentu masalah ini dapat terselesaikan. Tetapi karena kelembutan hantinya segala sesuatu dapat terselesaikan. Dalam mengupayakan keadilan dan perdamaian, perempuan juga harus dilibatkan. Karena perempuan adalah ibu, anak dan istri yang memiliki sensitifitas yang tinggi dalam menghadapi persoalan tentu dengan tidak mengandalkan kekerasan.
Dari segi pemaknaan dan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, kita pun harus banyak belajar dari Ester. Sebagai perempuan yang hidup dalam budaya patriakhi Ester tidak mengurung diri untuk tetap dalam kelompok yang termarginal melainkan ia menyadari bahwa ada peran penting yang harus dimainkan oleh siapa saja ketika menghadapi masalah ketidakadilan. Dengan kesadaran terhadap peran sebagai pembela kebenaran dan pejuang hak hidup banyak orang Ester mampu merobohkan dinding patriaki yang selama ini mengurung dirinya bersama seluruh perempuan sebagai korban-korban perang dan kebijakan. Sebagaimana yang telah dilakukan Ester dalam pemaknaan terhadap peran-peran kekuasaan di atas maka hal ini harusnya menjadi batu loncatan untuk semua perempuan agar bangkit dan merevitalisasi peran dan fungsi dalam segala segi kehidupan. Perempuan tidaklah harus kembali menjadi korban-korban budaya, kekuasaan, peperangan atau bahkan kebijakan para penguasa melainkan menjadi mitra yang sepadan dalam menjalankan berbagai tugas dan tanggung jawab di segala segi kehidupan.  

Kesimpulan
Setelah melihat peristiwa-peristiwa dalam teks perjanjian lama di atas maka,  dalam hubungan dengan teologi pembebasan dapat saya simpulkan bahwa pembebasan adalah situasi yang terbebas secara holistik  dari suasana kacau balau. Baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya hingga  keagamaan.  Secara teologis, ketika Allah menciptakan dunia Ia menciptakan dengan baik bahkan sangat baik. Yang membuat dunia ini menjadi hancur adalah karena manusia memberontak dan melawan perintah Allah. Teologi pembebasan haruslah bertolak dari nilai-nilai yang terkandung dalam penciptaan yakni pada dasarnya segala ciptaan Allah adalah baik. Sehingga tugas dari pembebasan  tidak lain adalah untuk mengembalikan segala yang tidak baik itu menjadi baik seperti apa yang dilakukan Allah pada mulanya.
Dalam upaya-upaya pembebasan misalnya seperti rekonsiliasi, perempuan juga harus dilibatkan. Seperti Ester, perempuan juga merupakan makhluk yang cerdas dan memiliki kepekaan terhadap penyelesaian masalah sehingga perempuan tidak bisa diabaikan dalam proses-proses rekonsilias

Tidak ada komentar:

Posting Komentar