Pendahuluan
Pada pertemuan sebelumnya kita telah
mempelajari tentang teologi Pembebasan dalam Alkitab Perjanjian Baru. Dan pada
kesempatan kali ini kita akan membahas tentang teologi pembebasan di Amerika
Latin yang digagas oleh Gustavo Gutierrez, seorang pastor asal Peru yang
sekaligus merupakan Tokoh teologi pembebasan. Secara garis besar tulisan ini
memuat tentang latar belakang lahirnya gagasan tentang teologi pembebasan Dari
Gustavo Gutierrez, bagaimana sifat dan panggilan untuk berteologi dalam konteks Amerika Latin,
pandangan alkitabiah tentang “Kedosaan” dan hubungan kritik teologi pembebasan
Gutierrez dengan analisis Marxisme. Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi
tugas dan tanggung jawab saya sebagai mahasiswa pada Mata Kuliah Teologi
Pembebasan.
Teologi
Pembebasan Menurut Gustavo Gutierrez
Pemikiran Teologi Pembebasan yang berkembang di kawasan
Latin secara umum membahas antara
hubungan agama dan politik. Politik dalam konteks ini bukan hanya berbicara
tentang proses birokrasi, tetapi juga mencakup semua segi kehidupan misalnya
politik yang berhubungan dengan ideologi, politik yang melahirkan kebijakan
ekonomi, politik yang melahirkan ketimpangan sosial hingga kekuasaan politik
yang membuat kebijakan-kebijakan miring sehingga rakyat berada pada poros
penindasan. Perkawinan antara agama yang
bisu terhadap penderitaan dan politik yang semakin menindas masyarakat miskin
pada akhirnya melahirkan sebuah gerakan besar yakni gerakan teologi pembebasan.
Amerika Latin pada era sebelum dan saat
lahirnya teologi pembebasan memiliki pergumulan berat tentang penderitaan dan
kesenjangan sosial. Rakyat miskin dan kaum buruh dikondisikan sebaik mungkin
oleh sistem pemerintahan dan ekonomi agar tetap menjadi miskin. Negara dan kaum
borjuis mengatur sedemikian hebat agar tetap berkuasa dan kaya, sehingga posisi
mereka tetap di atas untuk menguasai orang miskin Sementara gereja yang seharusnya menentang
penindasan dan ketidakadilan justru hanya memainkan perannya sebagai penyokong
kekuasaan dominan. Doktrin gereja lebih bersifat menenangkan umat yang
menderita dengan menjunjung tinggi kepatuhan pada kekuatan arus utama. Teologi-teologi
yang dilahirkan tidak berbeda jauh dari doktin yang diajarkan yakni teologi
ketabahan, teologi kehambaan, teologi kepatuhan dan teologi sejenis lainnya. Kenyataan-kenyataan
inilah yang dikritik oleh gerakan teologi pembebasan.
Melihat kenyataan bahwa gereja
mengajarkan hal beriman yang bersifat transenden maka Gutierrez dan rekan-rekan
dalam gerakan teologi pembebasan menawarkan cara beriman yang berbeda. Teologi
pembebasan bermaksud mentransformasi dunia sebagai realisasi iman yang hanya
menjadi iman sejauh dilakukan dalam praksis pembebasan. Bagi Gutierrez teologi
bukan merupakan kebijaksanan, bukan pula pengetahuan rasional melainkan
refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh Sabda Injil. Dalam konteks Amerika
Latin berarti refleksi kritis terhadap penindasan dan praksis untuk tujuan pembebasan.
Gutierrez mengatakan bahwa motivasi berteologi pembebasan bukan untuk
menciptakan ideologi yang membenarkan status
quo. Bukan pula sebagai obat penenang pada saat iman mendapat tantangan
dari sekularisme dan konsumerisme tetapi motivasi terdalam dari berteologi
ialah untuk membiarkan diri kita dinilai oleh Sabda Allah. Dengan berpikir melalui
iman maka akan melahirkan cinta dan komitmen secara radikal, menyeluruh dan
efisien untuk peduli terhadap sesama yang tertindas dan terus
memberikan harapan untuk terciptanya sebuah pembebasan.
Gutierrez mengemukakan tiga langkah dalam berteologi
yakni Pertama, fakta bahwa orang
kristen dan komunitas kristiani dipanggil untuk sebuah praksis yang definitif yaitu kasih, tindakan dan komitmen untuk
pelayanan sesama manusia. Dalam konteks Amerika Laitn, panggilan itu berarti
ditujukan untuk aksi pembebasan manusia dari belenggu sosial, ekonomi dan politik dari sistem masyarakat yang
mengingkari kemanusiaan dan dari kedosaan yang merusak hubungan manusia dengan
Tuhan. Kedua, adalah bahwa teologi
harus menjadi lebih kritis dalam terang injil, baik terhadap masyarakat umum
maupun terhadap gereja sebagai institusi. Dalam konteks saat itu
tindakan-tindakan pastoral dari gereja hanya sebatas aktivisme dan muatan
teologi hanya sebatas verbalisme. Padahal diketahui bersama bahwa refleksi
tanpa aksi adalah verbalisme dan aksi tanpa refleksi adalah aktivisme. Oleh
karena itu, teologi harus mengambil wajah baru yakni kerja teologi haruslah
kerja praksis-refleksi yang membebaskan baik masyarakat maupun gereja dari
penindasan, keberhalaan, ideologi yang tidak pro pembebasan dan alienasi. Ketiga, teologi berefleksi tentang
praksis iman dalam terang masa depan yang dapat dipercaya dan diharapkan untuk mentransformasi
dunia menjadi lebih baik.
Teologi pembebasan Gutierrez dapat
dikatakan bukan hanya bersifat orthodoxy (memantapkan ajaran) dan
bukan pula hanya orthopraxis (menuntut dijalankan dalam tindakan
mendunia dan menuju Allah), tetapi bersifat heteropraxis yakni orthodoxy
sejauh bersumber pada orthopraxis (rumusan ajaran sejauh berpangkal
dari pengalaman konkret dan kembali secara baru kepada tindakan yang dituntut
oleh rumusan ajaran tersebut).
Dalam teologinya tentang Kedosaan,
Guiterrez melihat bahwa kedosaan manusia tidak hanya berakar dalam hati manusia
sebagai pribadi melainkan terlebih untuk zaman ini, berakar pada struktur
sosial, ekonomi, politik, budaya dan keagamaan yang memeras dan menindas banyak
orang miskin demi kepentingan sekelompok kecil masyarakat. Struktur yang tidak
adil itu menjelma dalam ideologi-ekonomis “Pembangunan” yang sebanarnya
mengandung unsur-unsur kejahatan seperti Tokenisme, Eksploitasi dan
Paternalistik. Tokenisme adalah program pembangunan yang tetap mempertahankan
sistem efisiensi untuk keuntungan material sebesar-besarnya dengan
mengesampingkan faktor manusia sebagai pelaku utama pembangunan itu sendiri.
Hal ini menggambarkan bahwa pembangunan hanyalah kedok untuk menutupi
keserakahan sebagian orang yang memeras tanaga orang lemah sebagai alat
memperkaya diri sendiri. Sekaligus sebagai bentuk tambal sulam antara hukum
riba yang berdifat rimba bagi kalangan atas. Sedangkan praktek eksploitasi
terjadi dalam dunia industrialisasi di mana negara-negara berkembang dengan
kedok membantu negara miskin dalam produksi bahan mentah justru pada akhirnya menyengsarakan kaum
buruh dengan upah yang rendah. David Ricardo memunculkan sebuah hiposesa
tentang upah besi dan hal ini diterapkan dalam analisi kependudukan oleh Thomas
Malthus. Upah besi bermaksud untuk membatasi upah parah buruh pada jumlah
rendah dengan tujuan hanya untuk
menggantikan sedikit dari tenaga buruh yang bekerja. Jika buruh diberikan upah
yang tinggi maka para buruh akan merasa senang dan tidak akan bekerja dengan
giat. Sementara buruh juga akan
menghabiskan kekayaan itu untuk menghasilkan banyak anak, yang akan berujung
pada meledaknya angka jumlah penduduk. Singkatnya, upah yang tinggi dapat
menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan sarana pra sarana yang
pada akhirnya menyengsarakan kaum buruh itu sendiri. Pendapat ini merupakan
bentuk spekulasi dan konspirasi dari
pihak pemerintah, kaum borjuis dan pemegang modal untuk mengeksploitasi tenaga
buruh dan menjadikan mereka sebagai
mesin penghasil uang. Yang terakhir paternalisme, untuk mengontrol perputaran
ekonomi dan politik pada negara miskin, negara kaya sering berpura-pura
dermawan dengan menawarkan bantuan militer. Tindakan ini menjadi salah satu
bentuk fungsi kontrol dari negara kaya agar tetap menciptakan kesenjangan bagi tatanan hidup
masyarakat di negara miskin.
Menurut Gutierrez kemiskinan bukanlah
nasib yang harus diterima dengan saleh dan tabah oleh manusia. Karena pada
dasarnya Allah menciptakan manusia sebagai gambar dan rupa-Nya untuk mengelolah
bumi dan memanfatkan hasilnya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.
Jika dibandingkan dengan konteks kemiskinan Amerika Latin maka menurut
Gutierrez kemiskinan itu terjadi akibat dari stuktur pembangunan yang tidak
adil karenaya kemiskinan tersebut tidak harus disikapi dengan sikap saleh dan
tabah. Struktur yang dengan sengaja menyebabkan ketimpangan dalam masyarakat
harus diperangi namun Gutierrez tidak
menghendaki perlawanan dalam bentuk kekerasan. Apalagi jika perlawanan
dengan kekerasan tersebut datang dari
pihak masyarakat miskin, tentu bukanlah hal yang mungkin terjadi mengingat
kekerasan selalu berada pada tangan penguasa. Ia lebih memilih menciptakan perubahan
dalam bentuk damai dan antikekerasan.
Dalam membangun kritik untuk pemerintah
dan Gereja, Gutierrez dan para teolog pembebasan lainnya juga menggunakan
analisis Marx tentang “perjuangan kelas” dan “perubahan struktur” . Hal ini
oleh para kritikus yang berlawanan dengan teolog pembebasan menyebutnya sebagai
dosa terhadap kristianitas. Kita tahu bersama bahwa Marx dalam teorinya
terhadap Kapitalisme dan kesenjangan sosial, seakan-akan menyalahkan Gereja dan
ingin menghapuskan gereja karena menurutnya gereja tidak lebih sebagai candu
untuk melanggengkan penindasan dan kemiskinan. Teori-teori Marx pada zaman itu
memang merupakan teori yang sering menyudutkan Kekristenan. Oleh karena itu ketika
Gutierrez menggunakan kajian-kajian Marx untuk membedah realitas ketidakadilan
sosial dan penindasan, Ia dituding berdosa terhadap kekristenan. Namun, hal ini
tentu tidaklah benar. Sebab meskipun menggunakan analisis dari Marx yang sering
menyudutkan geraja, Gutierrez tetap tidak kehilangan kekristenannya. Sejak
duduk dibangku kuliah hingga berkiprah sebagai pastor, Gutierrez banyak
mempelajari tulisan-tulisan Marx. Ini membuat Gutierrez tidak menelan dengan
mentah analisis Marx begitu saja melainkan pikiran Marx digunakan Gutierrez
sebagai alat analisis yang dapat
merekam, mendeskripsikan dengan tepat keadaan ketidakadilan dan praktik
kekerasan yang melembaga di Amerika Latin. Gutierrez meskipun menggunakan
analisis Marx tetapi ia juga mengkritisi pikiran-pikiran Marx yang menurutnya
tidak Alkitabiah. Menurut Gutierrez, ide tentang kritik terhadap perjuangan
kelas telah ada jauh sebelum adanya teori Marx. Salah satunya adalah pada zaman
Santo Lukas yang hidup tahun 1800 (sebelum Marx lahir). Ide yang sama juga
telah muncul dalam teks-teks Alkitab, misalnya
teks dalam Lukas 4:18 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku
untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi
orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk
memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”. Teks ini aslinya berasal
dari Yesaya yang hidup di zaman 2500 tahun sebelum analisis Marx tampil. Begitu
juga dengan ide tentang perombakan struktural, telah ada sejak zaman
injil-injil, misalnya teks dalam injil lukas 1: 51-53 “Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan
mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya, Ia menurunkan orang-orang
yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah, Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang
yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa;”. Teks-teks Alkitab dan ide dari Santo Lukas
menegaskan bahwa sebenarnya gagasan untuk perombakan stuktur dan perjuangan
kelas bukan miliki Marx semata, jauh sebelum Marx alkitab telah menuliskannya.
Menggunakan analisis Marx adalah cara Gutierrez dan kawan-kawan membuka diri
terhadap analisis lain dalam membangun analisis dan kritik bersama untuk
konteks penindasan yang melembaga di Amerika Latin.
Kesimpulan
Amerika Latin pada zaman Gutierrez dipenuhi
dengan berbagai dinamika sosial yang
menampilkan ketidakadilan dan kekerasan yang melembaga. Keadaan ini
membuat umat semakin terpuruk dan menderita tetapi gereja seakan-akan mengurung
Tuhan dalam tempat-tempat ibadah. Tuhan dirasakan hanya dalam ritus-ritus
tetapi kehadiran-Nya tidak dirasakan dalam keseharian masyarakat Amerika Latin yang
menderita. Hal ini kemudian ditentang oleh para teologi pembebasan salah
satunya adalah Gustavo Gutierez. Allah tidak harus digambarkan sebagai Allah
yang diam terhadap ketidakadilan dengan jalan menabahkan hati orang-orang
tertindas saja, tetapi kehadiran Allah harus menjadi daya dorong untuk
pembebasan. Gereja sebagai representasi Allah dalam dunia harus menyuarakan
suara profetisnya untuk melawan ketidakadilan dan kekerasan yang melembaga.
Iman dari gereja adalah iman yang harus melakukan praksis melawan penindasan
sesuai dengan doktrin kekristenan bahwa tujuan utama kedatangan, penderitaan
dan kematian Kristus adalah upaya untuk membebaskan. Sebagaimana Kristus
bermisi untuk membebaskan manusia dari pederitaan maka gereja sebagai pengikut
kristus harus melakukan hal yang sama, agar tercipta keselarasan antara
Refleksi dan Praksis. Inilah cara beriman yang benar yang tawarkan oleh Gustavo
Gutierrez.