Minggu, 22 Oktober 2017

Teologi Pembebasan-Gustavo Gutirrez



Pendahuluan
Pada pertemuan sebelumnya kita telah mempelajari tentang teologi Pembebasan dalam Alkitab Perjanjian Baru. Dan pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang teologi pembebasan di Amerika Latin yang digagas oleh Gustavo Gutierrez, seorang pastor asal Peru yang sekaligus merupakan Tokoh teologi pembebasan. Secara garis besar tulisan ini memuat tentang latar belakang lahirnya gagasan tentang teologi pembebasan Dari Gustavo Gutierrez, bagaimana sifat dan panggilan untuk  berteologi dalam konteks Amerika Latin, pandangan alkitabiah tentang “Kedosaan” dan hubungan kritik teologi pembebasan Gutierrez dengan analisis Marxisme. Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dan tanggung jawab saya sebagai mahasiswa pada Mata Kuliah Teologi Pembebasan.

 Teologi Pembebasan Menurut Gustavo Gutierrez
Pemikiran Teologi Pembebasan  yang berkembang  di kawasan  Latin  secara umum membahas antara hubungan agama dan politik. Politik dalam konteks ini bukan hanya berbicara tentang proses birokrasi, tetapi juga mencakup semua segi kehidupan misalnya politik yang berhubungan dengan ideologi, politik yang melahirkan kebijakan ekonomi, politik yang melahirkan ketimpangan sosial hingga kekuasaan politik yang membuat kebijakan-kebijakan miring sehingga rakyat berada pada poros penindasan.  Perkawinan antara agama yang bisu terhadap penderitaan dan politik yang semakin menindas masyarakat miskin pada akhirnya melahirkan sebuah gerakan besar yakni gerakan teologi pembebasan.
Amerika Latin pada era sebelum dan saat lahirnya teologi pembebasan memiliki pergumulan berat tentang penderitaan dan kesenjangan sosial. Rakyat miskin dan kaum buruh dikondisikan sebaik mungkin oleh sistem pemerintahan dan ekonomi agar tetap menjadi miskin. Negara dan kaum borjuis mengatur sedemikian hebat agar tetap berkuasa dan kaya, sehingga posisi mereka tetap di atas untuk menguasai orang miskin   Sementara gereja yang seharusnya menentang penindasan dan ketidakadilan justru hanya memainkan perannya sebagai penyokong kekuasaan dominan. Doktrin gereja lebih bersifat menenangkan umat yang menderita dengan menjunjung tinggi kepatuhan pada kekuatan arus utama. Teologi-teologi yang dilahirkan tidak berbeda jauh dari doktin yang diajarkan yakni teologi ketabahan, teologi kehambaan, teologi kepatuhan dan teologi sejenis lainnya. Kenyataan-kenyataan inilah yang dikritik oleh gerakan teologi pembebasan.  
Melihat kenyataan bahwa gereja mengajarkan hal beriman yang bersifat transenden maka Gutierrez dan rekan-rekan dalam gerakan teologi pembebasan menawarkan cara beriman yang berbeda. Teologi pembebasan bermaksud mentransformasi dunia sebagai realisasi iman yang hanya menjadi iman sejauh dilakukan dalam praksis pembebasan. Bagi Gutierrez teologi bukan merupakan kebijaksanan, bukan pula pengetahuan rasional melainkan refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh Sabda Injil. Dalam konteks Amerika Latin berarti refleksi kritis terhadap penindasan dan praksis untuk tujuan pembebasan. Gutierrez mengatakan bahwa motivasi berteologi pembebasan bukan untuk menciptakan ideologi yang membenarkan status quo. Bukan pula sebagai obat penenang pada saat iman mendapat tantangan dari sekularisme dan konsumerisme tetapi motivasi terdalam dari berteologi ialah untuk membiarkan diri kita dinilai oleh Sabda Allah. Dengan berpikir melalui iman maka akan melahirkan cinta dan komitmen secara radikal, menyeluruh dan efisien  untuk peduli  terhadap sesama yang tertindas dan terus memberikan harapan untuk terciptanya sebuah pembebasan.
Gutierrez  mengemukakan tiga langkah dalam berteologi yakni Pertama, fakta bahwa orang kristen dan komunitas kristiani dipanggil untuk sebuah praksis yang definitif  yaitu kasih, tindakan dan komitmen untuk pelayanan sesama manusia. Dalam konteks Amerika Laitn, panggilan itu berarti ditujukan untuk aksi pembebasan manusia dari belenggu sosial, ekonomi dan  politik dari sistem masyarakat yang mengingkari kemanusiaan dan dari kedosaan yang merusak hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua, adalah bahwa teologi harus menjadi lebih kritis dalam terang injil, baik terhadap masyarakat umum maupun terhadap gereja sebagai institusi. Dalam konteks saat itu tindakan-tindakan pastoral dari gereja hanya sebatas aktivisme dan muatan teologi hanya sebatas verbalisme. Padahal diketahui bersama bahwa refleksi tanpa aksi adalah verbalisme dan aksi tanpa refleksi adalah aktivisme. Oleh karena itu, teologi harus mengambil wajah baru yakni kerja teologi haruslah kerja praksis-refleksi yang membebaskan baik masyarakat maupun gereja dari penindasan, keberhalaan, ideologi yang tidak pro pembebasan dan alienasi. Ketiga, teologi berefleksi tentang praksis iman dalam terang masa depan yang dapat dipercaya dan diharapkan untuk mentransformasi dunia menjadi lebih baik.
Teologi pembebasan Gutierrez dapat dikatakan bukan hanya bersifat orthodoxy (memantapkan ajaran) dan bukan pula hanya orthopraxis (menuntut dijalankan dalam tindakan mendunia dan menuju Allah), tetapi bersifat heteropraxis yakni orthodoxy sejauh bersumber pada orthopraxis (rumusan ajaran sejauh berpangkal dari pengalaman konkret dan kembali secara baru kepada tindakan yang dituntut oleh rumusan ajaran tersebut).
Dalam teologinya tentang Kedosaan, Guiterrez melihat bahwa kedosaan manusia tidak hanya berakar dalam hati manusia sebagai pribadi melainkan terlebih untuk zaman ini, berakar pada struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan keagamaan yang memeras dan menindas banyak orang miskin demi kepentingan sekelompok kecil masyarakat. Struktur yang tidak adil itu menjelma dalam ideologi-ekonomis “Pembangunan” yang sebanarnya mengandung unsur-unsur kejahatan seperti Tokenisme, Eksploitasi dan Paternalistik. Tokenisme adalah program pembangunan yang tetap mempertahankan sistem efisiensi untuk keuntungan material sebesar-besarnya dengan mengesampingkan faktor manusia sebagai pelaku utama pembangunan itu sendiri. Hal ini menggambarkan bahwa pembangunan hanyalah kedok untuk menutupi keserakahan sebagian orang yang memeras tanaga orang lemah sebagai alat memperkaya diri sendiri. Sekaligus sebagai bentuk tambal sulam antara hukum riba yang berdifat rimba bagi kalangan atas. Sedangkan praktek eksploitasi terjadi dalam dunia industrialisasi di mana negara-negara berkembang dengan kedok membantu negara miskin dalam produksi bahan mentah  justru pada akhirnya menyengsarakan kaum buruh dengan upah yang rendah. David Ricardo memunculkan sebuah hiposesa tentang upah besi dan hal ini diterapkan dalam analisi kependudukan oleh Thomas Malthus. Upah besi bermaksud untuk membatasi upah parah buruh pada jumlah rendah dengan tujuan  hanya untuk menggantikan sedikit dari tenaga buruh yang bekerja. Jika buruh diberikan upah yang tinggi maka para buruh akan merasa senang dan tidak akan bekerja dengan giat.  Sementara buruh juga akan menghabiskan kekayaan itu untuk menghasilkan banyak anak, yang akan berujung pada meledaknya angka jumlah penduduk. Singkatnya, upah yang tinggi dapat menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan sarana pra sarana yang pada akhirnya menyengsarakan kaum buruh itu sendiri. Pendapat ini merupakan bentuk spekulasi  dan konspirasi dari pihak pemerintah, kaum borjuis dan pemegang modal untuk mengeksploitasi tenaga buruh  dan menjadikan mereka sebagai mesin penghasil uang. Yang terakhir paternalisme, untuk mengontrol perputaran ekonomi dan politik pada negara miskin, negara kaya sering berpura-pura dermawan dengan menawarkan bantuan militer. Tindakan ini menjadi salah satu bentuk fungsi kontrol dari negara kaya agar tetap  menciptakan kesenjangan bagi tatanan hidup masyarakat di negara miskin.
Menurut Gutierrez kemiskinan bukanlah nasib yang harus diterima dengan saleh dan tabah oleh manusia. Karena pada dasarnya Allah menciptakan manusia sebagai gambar dan rupa-Nya untuk mengelolah bumi dan memanfatkan hasilnya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Jika dibandingkan dengan konteks kemiskinan Amerika Latin maka menurut Gutierrez kemiskinan itu terjadi akibat dari stuktur pembangunan yang tidak adil karenaya kemiskinan tersebut tidak harus disikapi dengan sikap saleh dan tabah. Struktur yang dengan sengaja menyebabkan ketimpangan dalam masyarakat harus diperangi namun Gutierrez tidak  menghendaki perlawanan dalam bentuk kekerasan. Apalagi jika perlawanan dengan kekerasan  tersebut datang dari pihak masyarakat miskin, tentu bukanlah hal yang mungkin terjadi mengingat kekerasan selalu berada pada tangan penguasa. Ia lebih memilih menciptakan perubahan dalam bentuk damai dan antikekerasan.
Dalam membangun kritik untuk pemerintah dan Gereja, Gutierrez dan para teolog pembebasan lainnya juga menggunakan analisis Marx tentang “perjuangan kelas” dan “perubahan struktur” . Hal ini oleh para kritikus yang berlawanan dengan teolog pembebasan menyebutnya sebagai dosa terhadap kristianitas. Kita tahu bersama bahwa Marx dalam teorinya terhadap Kapitalisme dan kesenjangan sosial, seakan-akan menyalahkan Gereja dan ingin menghapuskan gereja karena menurutnya gereja tidak lebih sebagai candu untuk melanggengkan penindasan dan kemiskinan. Teori-teori Marx pada zaman itu memang merupakan teori yang sering menyudutkan Kekristenan. Oleh karena itu ketika Gutierrez menggunakan kajian-kajian Marx untuk membedah realitas ketidakadilan sosial dan penindasan, Ia dituding berdosa terhadap kekristenan. Namun, hal ini tentu tidaklah benar. Sebab meskipun menggunakan analisis dari Marx yang sering menyudutkan geraja, Gutierrez tetap tidak kehilangan kekristenannya. Sejak duduk dibangku kuliah hingga berkiprah sebagai pastor, Gutierrez banyak mempelajari tulisan-tulisan Marx. Ini membuat Gutierrez tidak menelan dengan mentah analisis Marx begitu saja melainkan pikiran Marx digunakan Gutierrez sebagai alat  analisis yang dapat merekam, mendeskripsikan dengan tepat keadaan ketidakadilan dan praktik kekerasan yang melembaga di Amerika Latin. Gutierrez meskipun menggunakan analisis Marx tetapi ia juga mengkritisi pikiran-pikiran Marx yang menurutnya tidak Alkitabiah. Menurut Gutierrez, ide tentang kritik terhadap perjuangan kelas telah ada jauh sebelum adanya teori Marx. Salah satunya adalah pada zaman Santo Lukas yang hidup tahun 1800 (sebelum Marx lahir). Ide yang sama juga telah muncul dalam teks-teks Alkitab, misalnya  teks  dalam  Lukas 4:18 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”. Teks ini aslinya berasal dari Yesaya yang hidup di zaman 2500 tahun sebelum analisis Marx tampil. Begitu juga dengan ide tentang perombakan struktural, telah ada sejak zaman injil-injil, misalnya teks dalam injil lukas 1: 51-53 “Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya, Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah,  Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa;”.  Teks-teks Alkitab dan ide dari Santo Lukas menegaskan bahwa sebenarnya gagasan untuk perombakan stuktur dan perjuangan kelas bukan miliki Marx semata, jauh sebelum Marx alkitab telah menuliskannya. Menggunakan analisis Marx adalah cara Gutierrez dan kawan-kawan membuka diri terhadap analisis lain dalam membangun analisis dan kritik bersama untuk konteks penindasan yang melembaga di Amerika Latin.
   Kesimpulan
    Amerika Latin pada zaman Gutierrez dipenuhi dengan berbagai dinamika sosial yang  menampilkan ketidakadilan dan kekerasan yang melembaga. Keadaan ini membuat umat semakin terpuruk dan menderita tetapi gereja seakan-akan mengurung Tuhan dalam tempat-tempat ibadah. Tuhan dirasakan hanya dalam ritus-ritus tetapi kehadiran-Nya tidak dirasakan dalam keseharian masyarakat Amerika Latin yang menderita. Hal ini kemudian ditentang oleh para teologi pembebasan salah satunya adalah Gustavo Gutierez. Allah tidak harus digambarkan sebagai Allah yang diam terhadap ketidakadilan dengan jalan menabahkan hati orang-orang tertindas saja, tetapi kehadiran Allah harus menjadi daya dorong untuk pembebasan. Gereja sebagai representasi Allah dalam dunia harus menyuarakan suara profetisnya untuk melawan ketidakadilan dan kekerasan yang melembaga. Iman dari gereja adalah iman yang harus melakukan praksis melawan penindasan sesuai dengan doktrin kekristenan bahwa tujuan utama kedatangan, penderitaan dan kematian Kristus adalah upaya untuk membebaskan. Sebagaimana Kristus bermisi untuk membebaskan manusia dari pederitaan maka gereja sebagai pengikut kristus harus melakukan hal yang sama, agar tercipta keselarasan antara Refleksi dan Praksis. Inilah cara beriman yang benar yang tawarkan oleh Gustavo Gutierrez.

Minggu, 15 Oktober 2017

Sekilas Arti dan Latar Belakang Teologi Pembebasan



Teologi pembebasan adalah kata majemuk yang terdiri kata “teologi” dan “pembebasan”. Teologi berasal dari bahasa Yunani Theologia yang dari kata Theo yang berarti Tuhan  dan logos yang berarti Ilmu. Jadi, secara etimologi, teologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang tuhan-tuhan atau Tuhan, khususnya secara legendaris dan filosofis. Sedangkan kata “pembebasan” awalnya merupakan reaksi terhadap istilah “pembangunan” yang hidup subur baik di Amerika Latin maupun di bagian bumi lainnya. Istilah “pembangunan” sesunggunya membawa misi tentang sistem ekonomi politik liberal kapitalis. Sistem tersebut mengiming-imingkan tentang kesetaraan hidup dan kesejahteraan di antara setiap warga yang berperan serta dalam sistem, baik dari segi modal maupun tenaga. Namun, seiring berjalannya waktu sistem ini justru semakin bersifat menindas. Di mana yang miskin dikondisikan sesistematis mungkin agar tetap menjadi miskin dan yang kaya terus melambung jauh menjadi kaya. Alhasil terciptalah hungungan ketergantungan sepihak antara yang lemah kepada yang kuat. Situasi ini oleh CELAM II disadari sebagai Institutionalized Violence (kekerasan yang menginjak si miskin yang melembaga). Kondisi ini tentu telah melenceng jauh apa  dari yang disebut “pembangunan” dan yang tertinggal hanyalah penindasan sehingga istilah yang cocok dan dibutuhkan adalah istilah “pembebasan”.
Sekilas, teologi pembebasan menurut Gutierrez adalah refleksi kritis atas praksis kristiani dalam terang sabda Allah. Assman mengatakan bahwa Teologi pembebasan refleksi kritis atas proses sejarah pembebasan dalam arti iman yang muncul dari tindakan. menurut  Eta Linnemann yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah: “teologi yang memperhatikan situasi dan penderitaan orang miskin. Keinginannya tidak lain daripada membela dan memihak kepada hak orang miskin”. Jadi berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Teologi Pembebasan adalah suatu pemikiran teologis yang muncul di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga yang lain sekaligus merupakan suatu pendekatan baru yang radikal terhadap tugas teologi dimana titik tolaknya mengacu pada pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk kebebasan, dimana Allah juga hadir di dalamnya

Menurut para teolog pembebasan, teologi pembebasan dibedakan menjadi 3 jenis tetapi saling berhubungan satu dengan yang lain, yakni:
1.      Pembebasan dari belengggu ekonomi, politik, sosial atau alienasi kultural atau kemiskinan dan ketidakadilan.
2.      Pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru.
3.      Pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan sesama manusia.
Konsep tentang teologi pembebasan berakar pada beberapa penyebab yang berlangsung secara bertahap dan kontinyu, yakni:
Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah Spanyol, Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu gigih dan mengesankan sehingga para pelopor Teologi Pembebasan belakangan memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin.” Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan gerakan-gerakan religius serta sekuler pada pertengahan abad ke-20, Grenz, 20th Century 211bahwa:  Seperti Teologi Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara yang dicetuskan oleh J. B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya, Metz telah meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi teologis. Ketiga, dihasilkannya dokumen Gaudiumet Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang menekankan pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap mereka yang miskin dan yang dirundung penderitaan. Kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi para Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968), yang inti perumusannya berbunyi Demi panggilannya, Amerika Latin akan melaksanakan kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan. Keempat, situasi konkret di Amerika Latin, negara-negara di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme, imperialisme dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan ekonomi negara-negar Amerika Latin kepada Amerika Serikat (khususnya), yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin sehingga menimbulkan keresahan-keresahan sosial.

Melihat sejenak ke belakang, sejak depresi dunia pada tahun 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi maka mereka menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar yaitu kelas buruh yang tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung, ketidakpuasan meluas, situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator, kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Begitu juga dibidang keagamaan, kalau selama ini gereja di Amerika latin setia berpandangan teologi Barat (Eropa), yang berkutat hanya pada memahami Tuhan dan iman dan menghimbau agar bertahan mengahadapi penderitaan serta menghibur kaum miskin dan orang tertindas, maka melalui teolog pembebasan seperti Guiterrez dkk, mulai sensitif terhadap fungsi dan peran gereja dalam dunia yang penuh penindasan. Kemudian pihak geraja melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Rakyat harus disadarkan bahwa kemiskinan dan ketebelakangan bukan nasib turunan. Rakyat harus dipintarkan, kemudian geraja mempolopori pembebasan memalui intelektual dengan mendirikan beberapa universitas. Gerakannya ini justru melebar ke Dunia Ketiga yang memiliki persoalan sama antara lain ke Afrika dan Asia.

Konsep ALLAH TRITUNGGAL menurut Bapa-Bapa Gereja.




Berikut ini adalah pikiran atau konsep dari bapa-bapa gereja tentang Keesaan dan ketritunggalan Allah,.
1.      Yustinus Martir
Perintis awal yang mencoba menempatkan kebenaran Allah dalam pemikiran Yunani adalah Yustinus Martir, seorang bapa gereja dari Timur.  Hakekat Allah bagi Yustinus awalnya adalah satu sebelum penciptaan, akan tetapi setelah penciptaan Allah bukan hanya satu tetapi tiga sebagai Bapa, anak dan roh kudus.  Sebelum penciptaan, Allah adalah satu sebagai Logos, akan tetapi saat penciptaan itu dimulai, maka logos pun hadir dalam tiga fungsi. Bapa menampilkan logos sebagai pencipta dan pemelihara dunia. Anak menampilkan logos dilihat sebagai yang menyatakan kebenaran kepada manusia. Sementara Roh Kudus ,menampilkan Roh dari logos itu sendiri, sehingga Allah dilihat sebagai Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Secara langsung atau tidak langsung pernyataan atau penjelasan terkait hakekat Allah telah terbagi menjadi 3.

2.      Theodatus
Theodatus termasuk salah satu pemikir aliran Monarkhianisme. Monarkhianisme berasal dari akar kata Yunani yakni mone arkhe yang berarti prinsip tunggal. Model monarkhianisme hadir sebagai pertentangan dengan gagasan pluralitas Allah di atas. Prinsip ini sebenarnya lahir dari ketakutan akan kehilangan keesaan Allah oleh pengakuan Kristen akan keallahan Yesus Kristus. Maka mereka mulai mencari jalan, bagaimana hubungan Yesus dengan Allah bisa dipikirkan tanpa menghilangkan keesaan absolute Allah.[1] Menurut Theodatus dari byzantium, Yesus hanyalah manusia biasa yang diangkat oleh Allah sebagai anaknya pada saat pembabtisan melalui Roh kudus (berupa burung merpati). Memiliki kekuatan yang berasal dari Allah tidak membuat yesus lalu menjadi sejajar dengan Allah atau menjadi Allah, melainkan Ia hanya berstatus seperti anak yang diadopsi. Paham ini sering disebut sebagai paham Adoptianisme.
3.       Eusibius dan Arius
.Eusibius dan Arius adalah Penggagas konsep monarkianisme modalis. Ia sangat kuat memberi tekanan kepada keesaan Allah, tetapi akibatnya kebhinekaan pribadi Allah dikorbankan.  Menurutnya, Allah sajalah yang patut disebut sebagai Allah, sedangkan kristus hanyalah ciptaan Allah yang tidak lebih tinggi  atau setara derajadnya dengan Allah. [2] pandangan ini setara dengan pandangan dari Arius.
            Arius adalah pastor dari gereja Bacilius di Alexandria.  Arius melihat bahwa Allah Bapa lebih besar dari Anak Allah yang pada gilirannya lebih besar daripada Roh kudus. Arius tidak percaya bahwa ada hirarkhi dalam diri Allah. Maka Arius menempatkan monoteisme radikal  dengan mengatakan bahwa bahwa hanya Bapa sajalah Allah, diluar Bapa bukan Allah hanya ciptaan yang dingkat oleh Allah. Arius mengajarkan bahwa Sang Bapa sajalah yang benar-benar Allah. Ia adalah pribadi yang transenden, kekal, mutlak dan benar. Tentang Yesus Kristus atau sang Anak, Arius mengakui keberadaannya sejak kekal bersama dengan Sang Bapa, tetapi Ia tidak setara dengan Sang Bapa. Dia (Yesus) adalah ciptaan yang dibentuk oleh Sang Bapa sebulum permulaan waktu. Sebagai ciptaan Keilahian Sang Anak berada setingkat di bawah Keilahian Sang Bapa. Kendati demikian Sang anak tidak bisa disejajarkan dengan ciptaan yang lain karena Dia adalah ciptaan yang sempurna dari Sang Bapa. [3]
Selain itu, meurut Arius Hakikat kristus berubah, berkembang. Ia semakin disempurnakan oleh Allah melalui kebijaksanaan dan kuasa.  Hal ini membuat sampai Kristus seperti demi-god (setengah dewa) atau malaikat, sehingga hakikat Kristus adalah campuran: tubuh manusia dengan jiwa malaikat.[4] Jadi kesatuan Substansi Antara Sang Bapa dan Sang Anak tidak diakui oleh Arius.

4.      Origenes
Origenes berasal dari Alexandria.  Sebagai orang yang hidup dalam ruang lingkup Yunani yang kaya akan berbagai ajaran Filsafat, origenes selalu berusaha agar setiap pengajarannya dapat dipertanggungjawabkan secara Ilmiah. Karena itu teologi Origenes bertolak dari unsur-unsur gnostik dan filsafat Yunani.[5] Tidak seperti Arius yang cenderung menyangkal ketritunggalan Allah, Origenes lebih memilih untuk menerima bahwa Yesus Kristus dan Roh Kudus sebagai Allah. Sebab menurutnya apa yang dilahirkan dari Allah adalah Allah. Namun, meski menerima Yesus dan Roh Kudus sebagai Allah, origenes tetap melihat keduanya secara keilahian ada pada sisi sekunder. Sebab keilahian mereka (Yesus dan roh kudus) di turunkan dari Allah. Untuk menggambarkan relasi antara ketiganya origenes menggunakan istilah hypostasis, yang bagi dia berarti keberadaan/ keberadaan diri/pribadi. Bagi Origenes, Putra dan Roh berlainan dengan Bapa sebab hypostasis (keberadaan) mereka, tetapi mereka adalah satu karena hakikat mereka homo-ousios (Sehakikat). Sang Anak dan Roh Kudus dijadikan dalam kekekalan bersama Sang Bapa. Dalam kekekalan inilah ketiganya tidak terpisahkan bahwa Bapa adalah kekal, Anak adalah kekal dari sang Bapa, dan Roh adalah Kekal dari Sang Bapa dan Sang Anak. Ketiganya adalah keabadian, tidak terdapat masa waktu didalamnya yang ada hanyalah masa kekinian yang kekal.[6]
5.      Tertulianus
Trinitas dalam konsep Tertulianus berarti Una Substantia Tres Personae yang artinya Tiga pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus) menyatu dalam substansinya atau “satu hakikat, tiga pribadi”.   Substantia bagi Tertullianus, adalah bahan dasar dari suatu hal. Bapa, Anak dan Roh Kudus mungkin pribadi yang berbeda, tetapi mereka tidak terdiri dari tiga substansi yang berbeda, melainkan berasal dari satu substansi, sebab Anak dan Roh Kudus "bergabung dengan Bapa dalam substansi-Nya. Secara personae ketiganya memiliki bentuk masing-masing. Namun, pada hakekatnya memiliki satu Kuasa, satu  kekekalan, satu keabadian. Hal inilah yang menghubungkan ketiganya Personae tersebut.
Bagi Tertulianus, Allah berfirman melalui Logos, dan Logos itu sendiri adalah  Sang Anak. Sementara Roh Kudus sejak semula bersama-sama dengan Allah, tetapi ketika Kristus ditinggikan, Roh Kudus itu keluar dari Bapa dan Anak, seperti buah yang keluar dari pohonnya. Meskipun mengakui ketiganya dalam keesaan tetapi tertulianus tetap memberikan tingkatan-tingkatan pada posisi Sang Bapa, Anak dan Roh Kudus. Bahwa posisi sang anak dan roh kudus setingkat leih rendah di bawah sang bapa. Inilah yang mereduksi konsep trinitas itu sendiri. [7]
Ø  Konsep Allah Tritunggal dari Teolog Modern.
Setelah melihat beberapa pikiran tentang Allah Tritunggal pada zaman Gereja Purba, maka selanjutnya kita akan melihat bagaimana pendapa para teolog modern dalam mengartikan konsep Allah Tritungga. Dalam paper ini penulis hanya akan menulis tentang konsepr trinitas dari Karl Barth. Berikut penjelasannya:
Menurut Karl Barth Allah yang sama telah melakukan pengulangan diri sebanyak tiga kali. Sebagai hasil dari pengulangan diri itu Allah tampil dalam tiga pribadi. Allah Sang Bapa adalah Pribadi Pertamasekaligus Sumber dan dasar dari keAllahan. Ia adalah anonim, ia adalah kekekalan dan sebuah misteri. Di dalam kekekalan sang bapa mengulan dirinya untuk hadir secara baru. Hasil dari pengulangan diri ini adalah sang anak. Setelah ada sang anak, sang bapa tidak berhenti berkarya melainkan bersama sang anak keduanya berkarya. Bukan sebagai dua Allah tetapi sebagai 1 Allah dengan 2 pribadi.
Selanjutnya sang bapa dan sang anak dalam kesatuan kehendak dan karya mengulang diri secara bersama-sama . Hasil dari pengulangan diri keduanya ialah hadirnya pihak ke tiga yaitu Roh Kudus. Seabagai yang keluar dari sang bapa dan sang anak, roh kudus menjadi pengikat yang mempersatukan sang bapa dan sang anak. Maka jadilah tiga diri yang berbeda dari Allah yang satu karena pengulangan diri rangkap 3 daru Allah. Sang bapa, sang anak dan roh kudus adalah allah yang satu dan sama dengan tiga diri yang berbeda. Sang bapa bukanlah anak dan roh kudus karena ilalah sumber kealahan. Sang anak bukanlah sang bapa dan roh kudus karena ia berasal dari sang bapa. Roh kudus bukan bapa dan anak karena ia berasal dari bapa dan anak.  Demikianlah ringkasan tentang trinitas menurut Karl Barth.[8]


[1] Kirchberger, George, Allah Menggungat sebuah dogmatika Kristiani (Maumere: EDALERO, 2007),  hal. 172
[2] Ebenhaizer. I. Nuban Timo, “Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri” (KDT : 2012 ), hal. 77
[3] Ibid, 77-78
[4]Lohse, Benhard, “Pengantar Sejarah Dogma Pemikiran Kristen” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), Hal. 59
[5] Van Den End Th, “Harta dalam bejana” (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2001), Hal. 68
 [6] Ibid., Lohse, Benhard, hal. 60
[8]Ibid. Ebenhaezer, “Allah menahan diri....” hal. 80