Minggu, 15 Oktober 2017

Konsep ALLAH TRITUNGGAL menurut Bapa-Bapa Gereja.




Berikut ini adalah pikiran atau konsep dari bapa-bapa gereja tentang Keesaan dan ketritunggalan Allah,.
1.      Yustinus Martir
Perintis awal yang mencoba menempatkan kebenaran Allah dalam pemikiran Yunani adalah Yustinus Martir, seorang bapa gereja dari Timur.  Hakekat Allah bagi Yustinus awalnya adalah satu sebelum penciptaan, akan tetapi setelah penciptaan Allah bukan hanya satu tetapi tiga sebagai Bapa, anak dan roh kudus.  Sebelum penciptaan, Allah adalah satu sebagai Logos, akan tetapi saat penciptaan itu dimulai, maka logos pun hadir dalam tiga fungsi. Bapa menampilkan logos sebagai pencipta dan pemelihara dunia. Anak menampilkan logos dilihat sebagai yang menyatakan kebenaran kepada manusia. Sementara Roh Kudus ,menampilkan Roh dari logos itu sendiri, sehingga Allah dilihat sebagai Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Secara langsung atau tidak langsung pernyataan atau penjelasan terkait hakekat Allah telah terbagi menjadi 3.

2.      Theodatus
Theodatus termasuk salah satu pemikir aliran Monarkhianisme. Monarkhianisme berasal dari akar kata Yunani yakni mone arkhe yang berarti prinsip tunggal. Model monarkhianisme hadir sebagai pertentangan dengan gagasan pluralitas Allah di atas. Prinsip ini sebenarnya lahir dari ketakutan akan kehilangan keesaan Allah oleh pengakuan Kristen akan keallahan Yesus Kristus. Maka mereka mulai mencari jalan, bagaimana hubungan Yesus dengan Allah bisa dipikirkan tanpa menghilangkan keesaan absolute Allah.[1] Menurut Theodatus dari byzantium, Yesus hanyalah manusia biasa yang diangkat oleh Allah sebagai anaknya pada saat pembabtisan melalui Roh kudus (berupa burung merpati). Memiliki kekuatan yang berasal dari Allah tidak membuat yesus lalu menjadi sejajar dengan Allah atau menjadi Allah, melainkan Ia hanya berstatus seperti anak yang diadopsi. Paham ini sering disebut sebagai paham Adoptianisme.
3.       Eusibius dan Arius
.Eusibius dan Arius adalah Penggagas konsep monarkianisme modalis. Ia sangat kuat memberi tekanan kepada keesaan Allah, tetapi akibatnya kebhinekaan pribadi Allah dikorbankan.  Menurutnya, Allah sajalah yang patut disebut sebagai Allah, sedangkan kristus hanyalah ciptaan Allah yang tidak lebih tinggi  atau setara derajadnya dengan Allah. [2] pandangan ini setara dengan pandangan dari Arius.
            Arius adalah pastor dari gereja Bacilius di Alexandria.  Arius melihat bahwa Allah Bapa lebih besar dari Anak Allah yang pada gilirannya lebih besar daripada Roh kudus. Arius tidak percaya bahwa ada hirarkhi dalam diri Allah. Maka Arius menempatkan monoteisme radikal  dengan mengatakan bahwa bahwa hanya Bapa sajalah Allah, diluar Bapa bukan Allah hanya ciptaan yang dingkat oleh Allah. Arius mengajarkan bahwa Sang Bapa sajalah yang benar-benar Allah. Ia adalah pribadi yang transenden, kekal, mutlak dan benar. Tentang Yesus Kristus atau sang Anak, Arius mengakui keberadaannya sejak kekal bersama dengan Sang Bapa, tetapi Ia tidak setara dengan Sang Bapa. Dia (Yesus) adalah ciptaan yang dibentuk oleh Sang Bapa sebulum permulaan waktu. Sebagai ciptaan Keilahian Sang Anak berada setingkat di bawah Keilahian Sang Bapa. Kendati demikian Sang anak tidak bisa disejajarkan dengan ciptaan yang lain karena Dia adalah ciptaan yang sempurna dari Sang Bapa. [3]
Selain itu, meurut Arius Hakikat kristus berubah, berkembang. Ia semakin disempurnakan oleh Allah melalui kebijaksanaan dan kuasa.  Hal ini membuat sampai Kristus seperti demi-god (setengah dewa) atau malaikat, sehingga hakikat Kristus adalah campuran: tubuh manusia dengan jiwa malaikat.[4] Jadi kesatuan Substansi Antara Sang Bapa dan Sang Anak tidak diakui oleh Arius.

4.      Origenes
Origenes berasal dari Alexandria.  Sebagai orang yang hidup dalam ruang lingkup Yunani yang kaya akan berbagai ajaran Filsafat, origenes selalu berusaha agar setiap pengajarannya dapat dipertanggungjawabkan secara Ilmiah. Karena itu teologi Origenes bertolak dari unsur-unsur gnostik dan filsafat Yunani.[5] Tidak seperti Arius yang cenderung menyangkal ketritunggalan Allah, Origenes lebih memilih untuk menerima bahwa Yesus Kristus dan Roh Kudus sebagai Allah. Sebab menurutnya apa yang dilahirkan dari Allah adalah Allah. Namun, meski menerima Yesus dan Roh Kudus sebagai Allah, origenes tetap melihat keduanya secara keilahian ada pada sisi sekunder. Sebab keilahian mereka (Yesus dan roh kudus) di turunkan dari Allah. Untuk menggambarkan relasi antara ketiganya origenes menggunakan istilah hypostasis, yang bagi dia berarti keberadaan/ keberadaan diri/pribadi. Bagi Origenes, Putra dan Roh berlainan dengan Bapa sebab hypostasis (keberadaan) mereka, tetapi mereka adalah satu karena hakikat mereka homo-ousios (Sehakikat). Sang Anak dan Roh Kudus dijadikan dalam kekekalan bersama Sang Bapa. Dalam kekekalan inilah ketiganya tidak terpisahkan bahwa Bapa adalah kekal, Anak adalah kekal dari sang Bapa, dan Roh adalah Kekal dari Sang Bapa dan Sang Anak. Ketiganya adalah keabadian, tidak terdapat masa waktu didalamnya yang ada hanyalah masa kekinian yang kekal.[6]
5.      Tertulianus
Trinitas dalam konsep Tertulianus berarti Una Substantia Tres Personae yang artinya Tiga pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus) menyatu dalam substansinya atau “satu hakikat, tiga pribadi”.   Substantia bagi Tertullianus, adalah bahan dasar dari suatu hal. Bapa, Anak dan Roh Kudus mungkin pribadi yang berbeda, tetapi mereka tidak terdiri dari tiga substansi yang berbeda, melainkan berasal dari satu substansi, sebab Anak dan Roh Kudus "bergabung dengan Bapa dalam substansi-Nya. Secara personae ketiganya memiliki bentuk masing-masing. Namun, pada hakekatnya memiliki satu Kuasa, satu  kekekalan, satu keabadian. Hal inilah yang menghubungkan ketiganya Personae tersebut.
Bagi Tertulianus, Allah berfirman melalui Logos, dan Logos itu sendiri adalah  Sang Anak. Sementara Roh Kudus sejak semula bersama-sama dengan Allah, tetapi ketika Kristus ditinggikan, Roh Kudus itu keluar dari Bapa dan Anak, seperti buah yang keluar dari pohonnya. Meskipun mengakui ketiganya dalam keesaan tetapi tertulianus tetap memberikan tingkatan-tingkatan pada posisi Sang Bapa, Anak dan Roh Kudus. Bahwa posisi sang anak dan roh kudus setingkat leih rendah di bawah sang bapa. Inilah yang mereduksi konsep trinitas itu sendiri. [7]
Ø  Konsep Allah Tritunggal dari Teolog Modern.
Setelah melihat beberapa pikiran tentang Allah Tritunggal pada zaman Gereja Purba, maka selanjutnya kita akan melihat bagaimana pendapa para teolog modern dalam mengartikan konsep Allah Tritungga. Dalam paper ini penulis hanya akan menulis tentang konsepr trinitas dari Karl Barth. Berikut penjelasannya:
Menurut Karl Barth Allah yang sama telah melakukan pengulangan diri sebanyak tiga kali. Sebagai hasil dari pengulangan diri itu Allah tampil dalam tiga pribadi. Allah Sang Bapa adalah Pribadi Pertamasekaligus Sumber dan dasar dari keAllahan. Ia adalah anonim, ia adalah kekekalan dan sebuah misteri. Di dalam kekekalan sang bapa mengulan dirinya untuk hadir secara baru. Hasil dari pengulangan diri ini adalah sang anak. Setelah ada sang anak, sang bapa tidak berhenti berkarya melainkan bersama sang anak keduanya berkarya. Bukan sebagai dua Allah tetapi sebagai 1 Allah dengan 2 pribadi.
Selanjutnya sang bapa dan sang anak dalam kesatuan kehendak dan karya mengulang diri secara bersama-sama . Hasil dari pengulangan diri keduanya ialah hadirnya pihak ke tiga yaitu Roh Kudus. Seabagai yang keluar dari sang bapa dan sang anak, roh kudus menjadi pengikat yang mempersatukan sang bapa dan sang anak. Maka jadilah tiga diri yang berbeda dari Allah yang satu karena pengulangan diri rangkap 3 daru Allah. Sang bapa, sang anak dan roh kudus adalah allah yang satu dan sama dengan tiga diri yang berbeda. Sang bapa bukanlah anak dan roh kudus karena ilalah sumber kealahan. Sang anak bukanlah sang bapa dan roh kudus karena ia berasal dari sang bapa. Roh kudus bukan bapa dan anak karena ia berasal dari bapa dan anak.  Demikianlah ringkasan tentang trinitas menurut Karl Barth.[8]


[1] Kirchberger, George, Allah Menggungat sebuah dogmatika Kristiani (Maumere: EDALERO, 2007),  hal. 172
[2] Ebenhaizer. I. Nuban Timo, “Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri” (KDT : 2012 ), hal. 77
[3] Ibid, 77-78
[4]Lohse, Benhard, “Pengantar Sejarah Dogma Pemikiran Kristen” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), Hal. 59
[5] Van Den End Th, “Harta dalam bejana” (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2001), Hal. 68
 [6] Ibid., Lohse, Benhard, hal. 60
[8]Ibid. Ebenhaezer, “Allah menahan diri....” hal. 80

1 komentar:

  1. " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד. ואהבתא את יהוה אלהיך בכל לבבך ובכל נפשך ובכל מאדך ואהבתא לרעך כמוך. "

    " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad. V'ahavta et YHWH ( Adonai ) Eloheikha bekol levavkha uvkol nafsheka uvkol meodekha v'ahavta lereakha kamokha. "

    " Dengarlah, hai Israel: YHWH ( Adonai ) Elohim kita, YHWH ( Adonai ) itu satu. Dan kasihilah YHWH ( Adonai ) Elohimmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. "
    ( Ulangan 6 ay 4 - 5, Imamat 19 ay 18, Markus 12 ay 29 - 31 ). 🕎✡🐟✝🕊🇮🇱

    BalasHapus