Teologi
pembebasan adalah kata majemuk yang terdiri kata “teologi” dan “pembebasan”.
Teologi berasal dari bahasa Yunani Theologia
yang dari kata Theo yang berarti Tuhan dan logos
yang berarti Ilmu. Jadi, secara
etimologi, teologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang tuhan-tuhan atau Tuhan,
khususnya secara legendaris dan filosofis. Sedangkan kata “pembebasan” awalnya
merupakan reaksi terhadap istilah “pembangunan” yang hidup subur baik di
Amerika Latin maupun di bagian bumi lainnya. Istilah “pembangunan” sesunggunya
membawa misi tentang sistem ekonomi politik liberal kapitalis. Sistem tersebut
mengiming-imingkan tentang kesetaraan hidup dan kesejahteraan di antara setiap
warga yang berperan serta dalam sistem, baik dari segi modal maupun tenaga.
Namun, seiring berjalannya waktu sistem ini justru semakin bersifat menindas.
Di mana yang miskin dikondisikan sesistematis mungkin agar tetap menjadi miskin
dan yang kaya terus melambung jauh menjadi kaya. Alhasil terciptalah hungungan
ketergantungan sepihak antara yang lemah kepada yang kuat. Situasi ini oleh
CELAM II disadari sebagai Institutionalized
Violence (kekerasan yang menginjak si miskin yang melembaga). Kondisi ini
tentu telah melenceng jauh apa dari yang
disebut “pembangunan” dan yang tertinggal hanyalah penindasan sehingga istilah
yang cocok dan dibutuhkan adalah istilah “pembebasan”.
Sekilas, teologi pembebasan menurut Gutierrez adalah
refleksi kritis atas praksis kristiani dalam terang sabda Allah. Assman
mengatakan bahwa Teologi pembebasan refleksi kritis atas proses sejarah
pembebasan dalam arti iman yang muncul dari tindakan. menurut Eta
Linnemann yang dimaksud dengan teologi pembebasan adalah: “teologi yang
memperhatikan situasi dan penderitaan orang miskin. Keinginannya tidak lain
daripada membela dan memihak kepada hak orang miskin”. Jadi
berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Teologi
Pembebasan adalah suatu pemikiran teologis yang muncul di Amerika Latin dan
negara-negara dunia ketiga yang lain sekaligus merupakan suatu pendekatan baru
yang radikal terhadap tugas teologi dimana titik tolaknya mengacu pada
pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk kebebasan, dimana Allah juga
hadir di dalamnya
Menurut para teolog pembebasan, teologi pembebasan
dibedakan menjadi 3 jenis tetapi saling berhubungan satu dengan yang lain,
yakni:
1. Pembebasan
dari belengggu ekonomi, politik, sosial atau alienasi kultural atau kemiskinan
dan ketidakadilan.
2. Pembebasan
dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru.
3. Pembebasan
dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan
sesama manusia.
Konsep tentang teologi pembebasan berakar pada
beberapa penyebab yang berlangsung secara bertahap dan kontinyu, yakni:
Pertama, pada abad ke-16, seorang uskup berdarah
Spanyol, Bartolome de Las Casas, mengadakan perjuangan untuk membela kaum
Indian yang menjadi korban penindasan orang-orang Spanyol. Pembelaannya begitu
gigih dan mengesankan sehingga para pelopor Teologi Pembebasan belakangan
memandangnya sebagai “Musa Teologi Pembebasan Amerika Latin.” Kedua, munculnya peristiwa-peristiwa dan
gerakan-gerakan religius serta sekuler pada pertengahan abad ke-20, Grenz, 20th
Century 211bahwa: Seperti Teologi
Politik di Eropa dan Teologi Radikal di Amerika Utara yang dicetuskan oleh J.
B. Metz, Jurgen Moltmann dan Harvey Cox. Dalam gagasan teologinya, Metz telah
meletakkan beberapa dasar pemikiran yang kelak menjadi metode bagi Teologi
Pembebasan, khususnya pada peranan politik praksis sebagai titik tolak refleksi
teologis. Ketiga, dihasilkannya
dokumen Gaudiumet Spes (1965) oleh Konsili Vatikan II, yang menekankan
pertanggungjawaban khusus orang-orang Kristen terhadap mereka yang miskin dan
yang dirundung penderitaan. Kemudian muncul apa yang disebut sebagai konferensi
para Uskup Amerika Latin (CELAM II) yang menghasilkan dokumen Medellin (1968),
yang inti perumusannya berbunyi Demi panggilannya, Amerika Latin akan
melaksanakan kebebasannya apapun pengorbanan yang diberikan. Keempat, situasi konkret di Amerika
Latin, negara-negara di Amerika Latin telah menjadi korban kolonialisme,
imperialisme dan kerja sama multinasional. Hal ini terjadi karena adanya
ketergantungan ekonomi negara-negar Amerika Latin kepada Amerika Serikat
(khususnya), yang pada akhirnya banyak merugikan kepentingan Amerika Latin
sehingga menimbulkan keresahan-keresahan sosial.
Melihat sejenak ke belakang, sejak depresi dunia pada tahun 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin
begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya,
mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang
mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau.
Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Namun karena mementingkan
pertumbuhan ekonomi, industrialisasi maka mereka menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar yaitu kelas buruh yang tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung, ketidakpuasan meluas, situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan
membuahkan pemerintahan diktator, kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Begitu juga dibidang keagamaan, kalau selama ini
gereja di Amerika latin setia berpandangan teologi Barat (Eropa), yang berkutat
hanya pada memahami Tuhan dan iman dan menghimbau agar bertahan mengahadapi
penderitaan serta menghibur kaum miskin dan orang tertindas, maka melalui
teolog pembebasan seperti Guiterrez dkk, mulai sensitif terhadap fungsi dan
peran gereja dalam dunia yang penuh penindasan. Kemudian pihak geraja
melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Rakyat harus
disadarkan bahwa kemiskinan dan ketebelakangan bukan nasib turunan. Rakyat
harus dipintarkan, kemudian geraja mempolopori pembebasan memalui intelektual
dengan mendirikan beberapa universitas. Gerakannya ini justru melebar ke Dunia Ketiga yang memiliki persoalan
sama antara lain ke Afrika dan Asia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar