I.
PENDAHULUAN
Indonesia
dianugerahi dengan beragam kekayaan alam, keberagaman manusia, budaya, etnis,
lapisan ekonomi dan agama yang membentuk wajah Indonesia seperti sekarang ini. Bukan
hanya itu, kompleksitas permasalahan secara beruntun juga turut mewarnai
dinamika bernegara bahkan bergereja di Indonesia. Dimulai dari isu korupsi,
kolusi, nepotisme, ketidakadilan, perdagangan manusia, inflasi harga barang,
eksploitasi lingkungan hingga LGBT. Masalah-masalah di atas mewakili berbagai bidang, mulai dari bidang politik,
hukum, ekonomi, kemanusiaan, lingkungan, agama hingga etika. Khususnya untuk
masalah di bidang etika dalam hubungannya dengan agama dan moral, LGBT bukan
lagi masalah yang baru tetapi bukan juga masalah yang sudah “basi” untuk dikaji
dan diperbincangkan.
LGBT adalah
akronim dari Lesbian,
Gay, Biseksual dan
Transgender. Lesbian merupakan
istilah yang umum digunakan
untuk para perempuan
yang mengarahkan pilihan
orientasi seksualnya kepada
sesama perempuan, atau perempuan
yang mencintai perempuan
baik itu secara
fisik, seksual, atau
emosional. (http://jurnalperempuan.com/2011/siapakahlesbian/
). Gay
atau Homo adalah
istilah untuk laki-laki
yang memiliki kecenderungan seksual
kepada sesama pria,
atau pria yang
mencintai pria baik
secara fisik, seksual, atau
emosional. (http://id.wikipedia.org/wiki/Gay ). Biseksual
adalah istilah untuk
seseorang penyuka sejenis atau
dua jenis kelamin,
yaitu wanita dan
pria. Biseksual kerap
dipandang sebagai salah
satu bentuk penyembunyian
identitas homoseksual atau sebagai masa transisi antara identitas heteroseksual
dan identitas gay dan lesbian. Transgender adalah orang yang identitas
gendernya bukan laki-laki dan perempuan atau berbeda dengan yang biasa ditulis
dokter di sertifikat. Istilah tersebut digunakan untuk menggantikan frasa
“komunitas gay” karena istilah tersebut sudah mewakili kelompok-kelompok yang
telah disebutkan. (http://mitrawacanawrc.com/final/index.php?option=com).
Masalah
LGBT menjadi wacana yang semakin hari semakin hangat. Hal ini ditandai oleh
munculnya berbagai oraganisasi LGBT, berbagai kontes kecantikan yang diikuti
oleh kelompok gay, hingga munculnmya sosok-sosok LGBT yang mewarnai layar kaca di Indonesia. Fenomena-fenomena
di atas, sontak membangunkan berbagai kalangan untuk memberi respon. Ada yang
setuju dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan ada yang secara keras
mengharamkan fenomena ini dengan landasan nilai-nilai agama. Gereja juga tidak
ketinggalan dalam merespon isu LGBT mengingat isu ini dihubungkan dengan
nilai-nilai kekristenan. Respon tersebut bersumber dari gereja sebagai lembaga
hingga komunitas akar rumput dalam gereja yang tidak lain adalah anggota
jemaat. Sikap yang ditampilkan gereja (baik lembaga maupun pribadi jemaat)
terbilang cukup beragam, ada yang secara
keras menentang, ada yang tidak
sepenuhnya menerima, dan ada yang membela hak-hak anggota LGBT tanpa
benar-benar menolak atau menerima mereka. Menyikapi isu LGBT yang berkembang
dalam jemaat, maka mata kuliah Isu-Isu Teologi
Yang Berkembang Dalam Jemaat bermaksud untuk mengkaji isu tersebut dalam
rana studi teologi. Tulisan ini ditulis dalam rangkan memenuhi kewajibann saya
sebagai mahasiswa dalam mata kuliah Isu-Isu
Teologi Yang Berkembang Dalam Jemaat dengan fokus pada isu LGBT.
Untuk
lebih memahami isu LGBT maka mahasiswa pada kelas Isu-Isu Teologi Yang Berkembang Dalam Jemaat berkesempatan untuk sharing bersama dengan ketua organisasi
Sanubari Sulawesi Utara (SALUT). SALUT merupakan salah satu organisasi LGBT yang ada di
Sulawesi Utara. Tulisan ini akan memuat sedikit laporan dari hasil sharing dan analisis terkait dengan
pandangan kekristenan secara umum dan pandangan pribadi saya secara khusus
terhadap LGBT. Namun, sebelum membahas
lebih jauh tentang masalah LGBT saya akan memberikan batasan dalam penulisan
makalah ini. Makalah ini tidak bertujuan untuk pada akhirnya saya harus
memutuskann setuju atau tidak setuju menikahkan sesama anggota LGBT. Dalam
tulisan ini saya hanya akan memberikan perhatian tentang pendapat saya dalam
memandang orang-orang dalam kelompok LGBT dan bagaimana LGBT dalam pandangan
Kekristenan. Semoga Bermanfaat !..
II.
Laporan Hasil Sharing
Sanubari
Sulawesi Utara (SALUT) berdiri pada tanggal 07 Juli 2012. Organisasi ini
diprakarsai oleh Rajawali Koko, Steni Wildy dan Maikel Wandow. Komunitas SALUT dibentuk menampung aspirasi para anggota LGBT dan
memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Munculnya organisasi ini
sebagian besar dilatarbelakangi oleh kesadaran akan tindak diskriminatif yang
selalu diterima oleh kelompok LGBT, dan upaya perlawanan terhadap tindak
tersebut. Tetapi juga sekaligus sebagai bentuk protes untuk memperoleh hak-hak
yang sama dengan masyarakat pada umumnya yang tergolong heteroseksual.
Menurut
Rajawali Koko ketua SALUT, organisasi ini tidak menetapkan pengakuan akan
perkawinan sesama jenis menjadi prioritas utama dalam perjuangan mereka tetapi kebutuhan untuk
mengakses hak-hak sipil sebagai warga negara yang diutamakan. Banyak anggota
LGBT mengalami tindakan diskriminasi mulai dari usia anak-anak hingga usia
dewasa hingga saat ini. Bahkan menurut
pengakuannya, ia sendiri pernah mengalami berbagai macam tindak kekerasan, baik
kekerasan fisik, kekerasan psikis hingga kekerasan seksual dari oknum-oknum
tertentu. Ketika masih duduk di bangku
Sekolah Menengah Atas (SMA), Koko pernah mengalami tindak pelecehan seksual
oleh gurunya sendiri. Ia juga menjadi korban Bullying dari teman-teman sekolahnya hanya karena pembawaan yang
agak “gemulai”. Ia mengalami
penolakan dari keluarganya dan nyaris dibunuh oleh bapaknya hanya karena
diketahui bahwa ia ternyata homoseksual. Ia juga melayani sebagai pelayan di
gereja. Namun, ketika gereja mengetahui keberadaannya sebagai gay maka ia diusir secara perlahan dari gereja dengan cara membatasi
dirinya dari pelayanan gereja. Tidak sampai di situ, pendeta di gereja
tempatnya melayani pernah mengubah isi khotbah yang awalnya jauh dari topik
Sodom dan Gomora tetapi karena menyadari keterlibatan koko dalam ibadah
tersebut, kemudian menggiring khotbah tersebut menjadi khotbah anti gey dengan menggunakan peristiwa
Sodom dan Gomora. Rekan-rekan sesama pelayan yang mengetahui keberadaannya
sebagai gay secara perlahan tapi
pasti membatasi diri dengan Koko. Sejumlah peristiwa ini merupakan contoh
sebagian kecil dari penolakan yang harus ia hadapi sebagai resiko seorang gay.
Rajawali
Koko, juga berbagi cerita seputar anggota kelompok LGBT yang mengalami
kekerasan serupa. Namun, dalam penuturannya ia
tidak menyebutkan dengan jelas identitas dari anggoa kelompok tersebut.
Menurut pengalamannya bersama anggota LGBT, ada yang mendapat kekerasan ekstrim
hanya karena masyarakat setempat ingin mengembalikan jati diri seorang lelaki
bagi orang itu. Tidak tanggung-tanggung
ia (anggota kelompok LGBT) pernah dikencingi oleh sebagian besar
orang-orang yang ada di kampungnya.
Alasan
lain selain “tidak bermoral” yang sering menjadi stigma di mata masyarakat
ialah bahwa kelompok LGBT merupakan
penyalur dan penyumbang terbesar untuk HIV AIDS. Dengan stigma ini maka,
masyarakat memandang kelompok LGBT sebagai
kelompok “menjijikan” yang harus dihindari.
Ada
hal lain yang menjadi masalah dominan bagi kelompok LGBT SALUT yakni kesulitan
untuk memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP). Berdasarkan pengalaman yang
terjadi, anggota kelompok LGBT yang berekpresi sebagai perempuan (waria) sangat sulit untuk mendapatkan KTP walaupun
prosedur yang diikuti sudah sesuai aturan. Pegawai catatan sipil tempat mereka
mengurus administrasi pembuatan KTP, lebih memprioritaskan laki-laki
dengan ekspresi maskulin (laki-laki normal) daripada laki-laki dengan ekspresi
feminin (waria). Walaupun telah menunggu seharian, pada akhirnya “blangko kosong” atau “blangko for KTP so abis” selalu menjadi
jawaban untuk penantian selama sehari atau bahkan beberapa hari yang mereka
usahakan. Contoh lain lagi dari tindak diskriminasi yang dilakukan terhadap
kelompok LGBT adalah keika anggota LGBT yang transgender pada saat di Bandar
Udara Sam Ratulangi hendak pergi ke kamar kecil perempuan, ia dilarang dan
dicegat kemudian diarahkan ke kamar mandi untuk penyandang disabilitas.
Kelompok
LGBT yang mendapat begitu banyak perlakuan tidak adil kemudian sadar akan
eksistensi mereka. Kesadaran ini berujung pada upaya untuk mengajukan posisi
tawar kepada pihak-pihak yang berkuasa (Pemerintah, Gereja dan Masyarakat)
untuk memiliki kesetaraan hak dan kewajiban di dalam masyarakat. Karena itu
lahirlah SALUT untuk menjadi wadah bagi upaya tersebut. Namun, hal ini tidak
menjamin kelancaran dari organisasi ini. Banyak hal kemudian mengahadang
jalannya roda organisasi. Antara lain, fatwah gereja maenstrim di Minahasa, Gereja
Masehi Injili di Minahasa (GMIM) untuk menolak LGBT dengan berpedoman pada landasan
Alkitabiah. Meskipun demikian, SALUT tetap bergerak menyuarakan kebutuhan
mereka.
Ralasi
yang tercipta di antara sesama kelompok LGBT terlihat seperti kelompok
orang-orang heteroseks. Mereka saling peduli terhadap sesama kelompok. Ada
beberapa program yang menonjolkan hal itu antara lain program Apa Kabar Hati dan Janji Iman. Program Apa Kabar
Hati merupakan program saling sapa
dan sharing tentang hubungan antar
pasangan dalam kelompok. Masalah-masalah dalam hubungan asmara dibahas dalam
program ini sehingga sebisa mungkin dapat memberikan solusi kepada pasangan
yang bermasalah. Program Janji Iman merupakan program yang memuat komitmen untuk
saling menolong satu dengan yang lain sebagi bagian dari janji iman dalam
kelompok SALUT. Biasanya, dalam program janji iman jika ada anggota kelompok yang mengalami kesulitan
dalam hal keuangan maka, anggota kelompok yang memiliki kondisi keuangan yang
baik dapat memberikan bantuan berupa uang sebagai bentuk janji iman untuk
meringankan beban dari anggota kelompok yang kesulitan tadi. Namun, tidak
selamanya janji iman hanya berupa uang. Ada juga berupa ide, tenaga, kepedulian
dll.
Kelompok
SALUT dalam upaya menyuarakan kebutuhan kelompok (bebas dari diskriminasi,
kesetaraan hak, bebas dari perilaku bullyin
dsb.) membangun relasi dengan pihak-pihak terkat misalnya LSM yang bergerak
dibidang sosial dan HAM, pemerintah dalam program-program tertentu. Pihak-pihak
tersebut tidak dapat saya gambarkan secara rinci disebabkan keterangan yang
tidak memadai dari hasil wawancara.
III. Beberapa Sudut Pandang Tentang LGBT
a. Prespektif Biologi
Berbicara Orientasi seksual kepada
sesama jenis, menurut ahli biologi dihubungkan dengan tiga faktor yakni keadaan hormonal, gen, dan otak.
Dijelaskan bahwa seorang gay atau lesbian memiliki hormon sex yang lebih
sedikit dibanding pria atau wanita normal. Namun terdapat kritik pada teori ini
yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan hormonal antara gay atau lesbian
dengan pria atau wanita pada umumnya. Alasan biologis selanjutnya adalah karena
faktor keturunan, sehingga memang secara gen orang sudah dilahirkan sebagai gay
atau lesbian. Simon Le Vay (1996) dan Ridley (1996), menemukan bahwa terdapat
perbedaan ukuran hipotalamus dan macam-macam syaraf pengendali dorongan seksual
di bagian bawah otak. Gay dan lesbian memiliki ukuran otak yang lebih kecil
dibanding manusia pada umumnya. (http://wardiantomuhammad.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
)
b. Perspektif Sosiologi
Dalam masyarakat sendiri pandangan atau
sikap mengenai homoseksualitas sangat beragam, namun terlepas
dari perbedaan tersebut
sosiologi memberikan perhatian
terhadap pelaku
homoseksualitas maupun perilaku
homoseksualitas itu sendiri.
Dalam hakikatnya sebagai makhluk sosial
manusia akan membentuk
sebuah struktur ataupun
sistem masyarakat, selanjutnya
struktur maupun sistem dalam masyarakat tersebut akan melahirkan standar nilai
maupun norma yang akan menjadi pedoman hidup bagi warga masyarakatnya. Ketika
suatu kelompok maupun individu
tidak mampu memenuhi
standar nilai maupun
norma yang berlaku dalam
masyarakat, maka individu
maupun kelompok tersebut
akan diangggap menyimpang.
Homoseksualitas merupakan salah satu fenomena yang dianggap menyimpang
karena seringkali berbenturan
dengan standar nilai
maupun norma yang
ada dalam banyak kelompok masyarakat.
Pada awalnya
istilah homoseksual digunakan
untuk mendeskripsikan seorang
pria yang memiliki
orientasi seksual terhadap
sesamanya. Namun dalam perkembangannya, istilah homoseksual digunakan untuk
mendefinisikan sikap seorang individu (pria maupun wanita) yang memiliki
orientasi seksual terhadap
sesamanya.
Kajian mengenai
hommoseksual dapat ditinjau
dari tiga aspek,
yaitu orientasi seksual, perilaku seksual,
dan identitas seksual.
Dilihat dari aspek
orientasi seksual, maka homoseksual adalah ketertarikan maupun
hasrat untuk terlibat secara seksual terhadap orang yang berjenis kelamin sama.
Ditinjau dari aspek perilaku seksual, Homoseksual mengandung pengertian sebagai sebuah perilaku maupun
kegiatan seksual antara dua orang yang berjenis kelamin sama. Baik gay maupun lesbian, keduanya memiliki
citra yang negatif dalam masyarakat.
c. Perspektif Psikologi
Mengemukakan perspektif psikologi
terhadap kelompok LGBT, saya akan menggunakan pendapat dari Sigmun Frued. Menurut Freud seksualitas merupakan
dorongan utama dalam kehidupan manusia. Bagaimana pandangan Frued dengan LGBT?
Bagi sebagian besar psikolog, lesbian, gay, biseksual dan trangender merupakan
bentuk penyimpangan seksual. Apa
yang disebut dengan
normal dalam pandangan
mereka adalah hubungan yang
bersifat heteroseksual, pria
dan wanita. Namun,
bagi Frued yang
intens meneliti tentang homoseksual, masalah LGBT tidak bisa
hanya dijustifikasi dengan benar atau salah secara apologetik. Kita harus meninjaunya dari berbagai aspek.
Dalam penelitiannya, Frued menemukan beberapa faktor kenapa seseorang memilih
untuk terlibat dalam aktivitas seksual komunitas LGBT.
1. Faktor Prinsip Hidup.
Menurut Frued, setiap manusia memiliki dua prinsip,
mati dan hidup (dead and life).
Prinsip dead merupakan prinsip yang cenderung merusak dan
agresif. Sedangkan prinsip life adalah prinsip
manusia untuk mempertahankan diri
dan mengembangkan kepribadiannya di
dalam realitas kehidupan. Prinsip
life cenderung terarah
kepada pemuasan libido.
Dalam hal ini libido
adalah satu-satunya energi
dasar kehidupan manusia
dalam mencari kelezatan
dan kesenangan hidup tanpa melihat norma-norma yang berlaku di
masyarakat.
2. Faktor
Lingkungan.
Berkenaan dengan
hal ini, Freud
memegang prinsip determinisme
psikologis, yaitu setiap manusia telah
menentukan sebelumnya untuk
hidup di sebuah
lingkungan tertentu. Dalam kaitannya dengan
LGBT, faktor lingkungan
menjadi alasan kenapa
seseorang menentukan pilihan untuk
lerlibat dalam komunitas
LGBT. Perlakuan kurang
simpatik, kekerasan dari lawan
jenis, pemondokan sesama
jenis, dan perlakuan
tidak senonoh lainnya
merupakan indikator-indikator
lingkungan yang menentukan
seseorang untuk bergabung
ke dalam komunitas LGBT.
3. Faktor Kebebasan Seksual (Free Sex)
Kebebasan sex (free
sex) pada titik
tertentu akan mendorong
seseorang untuk mencari kepuasan seks dari gaya dan varian
seks lainnya, atau terlibat dalam aktivitas seksual seperti yang dilakukan oleh
komunitas LGBT.
4.
Faktor Genetik
Perkembangan biologi
molekuler dan genetika
memberi warna baru
dalam memahami eksistensi manusia.
Saat ini, semua
yang menyangkut dengan
kepribadian dan historisitas keturunan manusia bisa ditinjau
dari aspek genetik, lebih spesifiknya DNA. Melalui DNA kita bisa memahami
sifat-sifat seseorang. Sebut
saja, berani, lembut,
panakut, pemalu, terbuka, tertutup, emosional dan sebagainya.
Melalui DNA juga kita bisa memahami kecenderungan seseorang untuk bersifat
setengah laki-laki dan setengah perempuan yang berimplikasi kepada
kesulitan seseorang untuk
menentukan jenis kelaminnya.
Dengan demikian, kita
bisa
memahami bahwa
kecenderungan seseorang untuk
masuk ke dalam
komunitas LGBT bisa disebabkan oleh faktor genetik.
5.
Faktor Hormon
Dalam ilmu
biologi disebutkan bahwa
sifat maskulin dan
feminin sangat ditentukan
oleh hormon testosteron dan
progesteron. Kelebihan kadar
hormon testosteron misalnya, menentukan seorang
lelaki untuk menyukai
lawan jenis (wanita).
Jika sebaliknya, ia
akan menyukai sesama jenis (laki-laki). Begitu juga sebaliknya dengan
perempuan.
6. Faktor Ketidakpuasan Seks Dengan Pasangan
Ketidakharmonisan
hubungan seksual suami istri menjadi salah satu faktor kenapa seseorang
mengalihkan orientasi seksualnya seperti aktivitas seksual yang dilakukan oleh
kaum LGBT.
Dengan bersandar
kepada enam faktor
di atas, Frued
mengungkapkan bahwa LGBT
bukan sebuah kelainan, tetapi
sebagai aktivitas manusia
yang secara psikologis
bersifat wajar. Tentunya pendapat ini banyak tentangannya,
karena sebagian besar psikolog menganggap keenam faktor tersebut tiada lain
adalah alasan kuat
seseorang untuk memalingkan
orientasi seksualitasnya yang
normal ke dalam bentuk
orientasi seksual yang
tidak wajar atau
menyimpang, yang dalam
konteks ini adalah aktivitas seksual kaum LGBT.
d. Perspektif Teologis
Jika ditinjau
dari sisi teologi, kita harus mempertanyakan bahwa dapatkah LGBT memiliki ruang
teologis? Hal ini perlu dipertanyakan mengingat kenyataan yang terjadi adalah
penolakan dari berbagai agama terhadap polemik LGBT. Penolakan agama terhadap
kelompok LGBT sontak menggiring persepsi yang sama bagi masyarakat sehingga
penolakan agama tersebut dianut juga oleh masyarakat pada umumnya. Akhirnya, mereka tidak memiliki ruang gerak,
dibunuh tidak, gerak ditindak. Inilah kendala besar yang dihadapi oleh
komunitas LGBT. Oleh karena itu, untuk memperoleh legitimasi teologis
mereka melakukan reinterpretasi teks-teks
keagaman yang ditinjau
dari sisi humanistik dan
etik. Dan tentunya bahasan
yang paling fundamental
dalam hal ini
adalah berkenaan dengan teks-teks
yang mengungkap fenomena
seksualitas (homoseksual) umat
nabi Lot yang kemudian dikiaskan
dengan aktivitas seksual LGBT.
Dalam
kaca mata Kekristenan khususnya di Indonesia, homoseks dipandang sebagai sebuah
dosa. Penekanan bahwa homoseks adalah
dosa dan perlawanan terhadap ketetapan
Allah akan digambarkan dalam ayat-ayat Alkitab berikut ini.
-
Imamat 18:22 yang mengatakan bahwa: “Janganlah
engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena
itu suatu kekejian.”
-
Larangan ini kemudian diperkuat di dalam
Imamat 20:13, “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh
dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka
dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
-
Roma 1:25-27, “Sebab mereka menggantikan
kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya
yang harus dipuji selama-lamanya, amin. Karena itu Allah menyerahkan mereka
kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan
persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami
meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala
dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan
kemesuman, lakilaki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri
mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.”
-
Kej.1:27
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar
Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nyamereka.”
Selain itu di dalam Kej. 2:18 dikatakan bahwa,”TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak
baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong
baginya, yang sepadan dengan dia.
-
Kej 2:23-24,” Lalu berkatalah
manusia itu: ‘Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia
akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari lakilaki.’ Sebab itu seorang
laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging.”
-
Ayat-ayat tentang Sodom dan Gomora yang
tertuang dalam Kej 19:4-11, 24-25
Ayat-ayat
di atas secara tegas menolak perilaku homoseksual. Dalam melawan kelompok LGBT ayat-ayat di atas digunakan . Bahkan sering
kali penghakiman dari gerja pun melayang berdasarkan ayat-ayat di atas.
Menurut Teologi Kristen pada mulanya
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai mitra kerja Allah yang
diberkatinya untuk beranak cucu penuhi bumi. Dengan peralihan orientasi dari
heteroseks ke homoseks tentu melanggar perintah Allah, yang di kemudian hari
dalam Imamat dikecam sebagai kekejian di hadapan Allah.
VI.
Analisis
Setelah
melakukan percakapan dengan kelompok LGBT SALUT dan membaca berbagai perspektif
dalam bidang kehidupan tentang LGBT, tentu bukanlah hal yang mudah untuk
memutuskan bagaimana sikap saya secara
ideal menaggapi isu LGBT ini. Saya sendiri membatasi diri untuk menilai secara
subjektif tentang benar atau salah perilaku homoseksual. Selain karena secara
akedemis ilmu yang saya peroleh belum seberapa, ada berbagai ahli yang juga
mengemukakan pendapat mereka secara luar biasa tentang LGBT tetapi masih juga
ditolak oleh masyarakat. Apalagi jika saya yang memberikan penialaian, tentu
bukan kapasitas saya untuk hal itu. Di atas segalanya, menurut saya kebenaran
mutlak ada pada pihak Sang Benar yaitu Allah.
Selaku
orang Kristen yang mempercayai Alkitab sebagi kebenaran Firman Allah, saya sangat menghormati
nilai-nilai yang dimiliki dalam alkitab, termasuk penolakan terhadap kelompok
LGBT. Namun, di sisi lain saya juga menyadari ada banyak ayat alkitab yang
mengajarkan kasih secara komrehensif termasuk kasih terhadap mereka yang LGBT.
Bagaimana mungkin, kita memegang erat beberapa ayat yang mendiskriminasi
kelompok LGBT kemudian melepaskan ayat-ayat yang justru menganjurkan perilaku
kasih bagi mereka? saya rasa keduanya harus berimabang. Bahwa kita memegang
yang satu tanpa harus melepaskan yang lain. Meskipun demikian, sebagai orang
yang belajar tenang sejarah penulisan
alkitab, saya menganjurkan untuk tidak menafsir ayat-ayat yang berisi kecaman
terhadap kelompok LGBT secara harafiah. Alkiab ditulis pada konteks dan penulis
yang berbeda-beda namun sebagian besar isi alkitab ditulis di bawah tradisi
patriakhal. Tradisi patriakhal selalu merujuk pada dominasi laki-laki yang dikenal
dengan sikap perkasa, heroik pemberani dan keras dalam prinsip. Jika demikian
adanya proses penulisan alkitab itu, maka sudah jelas laki-laki dengan ekspresi
dan pembawaan perempuan pasti dikecam oleh para penulis alkitab. Intinya
adalah, menurut saya ayat-ayat kecaman terhadap kelompok LGBT harus ditafsir
dengan menggunakan kacamata baru yang lebih humanis.
Untuk
lebih memperuncing analisa saya dalam menaggapi isu LGBT, maka perhatikanlah
pendapat dari James Nelson, seorang profesor etika yang dimuat dalam artikel Ira
D. Mangililo tentang Lesbian, Gay,
Biseksual Dan Transgender Menurut Pandangan Kristen berikut ini:
James
Nelson, seorang profesor etika mengatakan bahwa keberadaan kaum homoseks yang
semakin banyak terutama di kalangan orang Kristen sendiri menuntut gereja untuk tidak
melupakan tanggung jawabnya untuk menghadapi isu ini dengan cara yang lebih
terbuka, jujur dan sensitif. Menurut Nelson, sudah saatnya bagi gereja untuk
melihat kembali teologi dan praktek keimanannya. Ada lima point utama yang
kemukakan oleh Nelson yaitu: 1) Kaum homoseks Kristen adalah saudari dan
saudara kita yang secara tulus mencari penerimaan gereja terhadap mereka tanpa
adanya prejudis berdasarkan orientasi seksual mereka – sesuatu yang merupakan
jalan hidup mereka; 2) gereja harus mengambil tindakan yang penuh tanggung
jawab untuk menghadapi sikap antihomoseks yang kuat di dunia ini dengan cara
membentuk, mendukung dan mengubah sikap negatif terhatap kaum homoseks; 3)
Perintah kekristenan untuk melakukan keadilan sosial hendaknya tidak membuat
kita lupa bahwa diskriminasi terhadap berjuta-juta kaum homoseks terus terjadi
hingga saat ini. Mereka diingkari haknya atas pekerjaan, perumahan, akomodasi publik, pendidikan dan dalam
menikmati kemerdekaan mendasar yang seyogyanya dinikmati oleh para warga negara
di wilayahnya; 4) Gereja dipanggil untuk terus mengasah upaya-upaya berteologi
dan beretikanya sebertanggung jawab mungkin. Pandangan-pandangan penting dari
para teolog feminis, para homoseks Kristen dan mereka yang merupakan para pakar
sekuler mengingatkan kita melalui berbagai cara tentang bagaimana kondisi
seksualitas kita sendiri mempengaruhi dan mewarnai persepsi kita tentang sifat
dan kehadiran Allah di dunia. Jika prinsip-prinsip di dalam Kekristenan kita
membuat kita melawan berbagai upaya pengabsolutan penilaian-penilaian teologis
yang telah terjadi disepanjang sejarah, maka demikian pula keterbukaan kita
terhadap penyataan yang berkelanjutan Allah hendaknya meyakinkan kita, bersama
dengan para leluhur iman kita bahwa “Tuhan memiliki terang kebenaran yang
hendak dinyatakan; 5)Mayoritas berorientasi hereteroseksual di dalam
gereja-gereja memiliki banyak keuntungan ketika bergulat di dalam masalah
homoseksualitas yaitu peningkatan kemampuan untuk mencintai manusia lain dengan
lebih sungguh dan tanpa rasa takut.
Lima
point yang ditawarkan oleh Nelson ini menunjukkan dinamika yang dihadapi oleh
gereja-gereja Kristen baik yang ada di dunia maupun di Indonesia bahwa cepat
atau lambat kita harus berusaha untuk menerima kenyataan bahwa kaum LGBT ada di
tengah-tengah kita dan kita harus berupaya untuk menanggapi keberadan mereka. Gereja
tidak dapat terus menutup diri terhadap kelompok LGBT karena mereka juga
termasuk domba yang harus dilayani oleh gembala gereja. Bukankah dalam I Korintus 12 : 22 & 23
menegaskan tentang prioritas pelayanan bagi mereka yang “tidak elok” dan
“lemah” ? gereja dengan doktrin penolakan terhadap kelompok LGBT, pemerintah
dengan kekuasannya yang mendiskriminasi hak-hak sipil mereka dan stigma masyarakat yang selalu
mendiskreditkan menunjukan bahwa kelompok LGBT merupakan
kelompok yang “tidak elok” dan “lemah” atau menurut saya lebih tepatnya
“dilemahkan” oleh sistem. Oleh karena itu, mereka yang LGBT harus mendapat
perhatian lebih dari gereja. Mereka tidak berbeda dari orang-orang yang
diperjuangkan dalam berbagai teologi gereja seperti teologi pembebasan, teologi Hitam, teologi
Minjung dll. Konteks yang membentuk teologi-teologi tersebut adalah konteks
ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, budaya yang berujung pada tindak diskriminasi
terhadap mereka yang lemah. Jika gereja berdiri tegak untuk melawan
ketidakadilan seperti di Afrika, Amerika
Latin hingga Asia, mengapa gereja justru menindas mereka yang juga merupakan
kelompok lemah dalam tubuh gereja. Jika gereja melakukan penolakan secara utuh
dan mengabaikan tanggungjawab pembinaan terhadap kelompok LGBT maka menurut
saya gereja tidak lagi menampilkan wajah Kristus yang penuh kasih.
Setelah
meilhat panjang lebar penjelasan di
atas maka, secara pribadi saya menerima keberadaan kelompok LGBT dengan semua
perbedaan orientasi seksual mereka. Bahan refleksi yang mendasari penerimaan
saya salah satunya adalah dengan mengingat perkataan Kristus tentang “siapakah
sesamamu” dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati. Sesamaku bukan hanya
mereka yang heteroseksual tetapi juga mereka yang homoseksual. Tentang dosa,
itu adalah kapasitas Allah. Yang penting bagi saya adalah melakukan baik sesuai
dengan perintah Yesus untuk saling mengasihi. Tentang “pertobatan” dari LGBT ke
perilaku seks yang “Normal”, itu juga bukan kapasitas saya. Saya percaya bahwa
Allah adalah pemilik hati yang akan menggerakan hati ciptaannya termasuk LGBT,
jika Ia menginginkannya. Pertobatan juga berhubungan dengan pengalaman
spiritual manusia dengan Allah. Jika gereja berkerinduan untuk “menyadarkan”
kelompok LGBT agar berperilaku seks secara heteroseksual, maka sebaiknya gereja
tidak anti terhadap mereka. Justru gereja harus selalu mendoakan dan melayani
mereka dengan cinta, maka biarkan Allah yang mengatur langkah mereka
selanjutnya, itu urusan Allah.
Meskipun
demikian, menurut saya ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari perilaku seks
kelompok LGBT. Sejauh yang saya tahu,
kelompok LGBT yang membangun hubungan asmara, sebagian besar akan berujung pada
kegiatan hubungan intim. Hal ini tidak selamanya dibenarkan. Sama seperti
hubungan cinta kelompok heteroseks, cinta tidak sesalu bermuara pada hubungan
seks begitu juga yang saya harapkan dalam
hubungan cinta homoseks. Cinta
adalah perhatian dan tindakan yang saling menopang dan mendukung guna kemajuan
bersama. Jika cinta disempitkan hanya dalam hubungan intim maka justru akan
menjadi sumber penyakit dan menghancurkan
makna cinta itu sendiri. Oleh karena itu, sekiranya kelompok LGBT (juga
kelompok heteroseksual) membatasi diri dengan perilaku seks bebas yang sangat sekuler
untuk meminimalisir kemungkinan penyakit-penyakit tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar