Jumat, 02 Juni 2017

Sekilas Tentang wajah Islam masa lalu dan masa kini



                             ISLAM DAHULU vs ISLAM MASA KINI

Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad ke-7 hingga 13 Masehi. Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar umumnya pedagang, mubalig, wali, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Mereka menyebarkan Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam enam aras, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial.
Tatkala para pedagang asing menetap – baik sementara waktu ataupun seterusnya – mereka perlahan-lahan membangun pemukiman di daerah setempat. Banyak di antara pada saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum pribumi, terutama anak-anak kaum bangsawan, untuk menikahi mereka. Namun, para pedagang menganggap pernikahan dengan penganut berhala tidak sah. Mereka mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk Indonesia harus masuk Islam dengan mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Proses pernikahan singkat, tidak melalui upacara yang panjang-lebar, membuat kalangan pribumi semakin menerima keberadaan orang-orang asing berikut agama barunya ini.
Mukimnya pedagang Islam dalam kegiatan perdagangan (sekadar transit atau menetap), membuat mereka berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan. Pola ini mampu mengembangkan pemukiman Islam baru (disebut koloni). Ini menjelaskan mengapa Kerajaan Islam nusantara selalu berawal dari wilayah-wilayah pesisir seperti Bone, Banjar, Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Hitu, ataupun Deli.
Islam yang masuk ke Indonesia maupun kerajaan-kerajaan pada zaman dulu mengambil rupa yang lebih damai apabila dibanding dengan metode masuknya bangsa Eropa. politik damai itu melahirkan simpati kelompok lokal yang semula memeluk agama asli (agama suku) menjadi penganut Islam yang rajin.
Di kawasan wilayah Maluku, Kerajaan Ternate menjadi pintu masuk bagi agama Islam Maluku. Bahkan di Ternate kesultanan ternate dengan suka rela mengirimkan anggota kerajaannya hanya untuk memperdalam agama Islam dan bermisi untuk menyebarkan agama Islam di seanteru daerah kekuasaannya termasuk sebagian Minahasa (yang termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Ternate), Ambon, Lease dan Papua. Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh kerajaan ternate menggunakan metode dakwah dan Islamisasi bagi komunitas tertentu berdasarkan agama Sultan/Raja mereka. Kesadaran historis bahwa Ternate adalah pintu masuknya Islam di Maluku membuat kerajaan Ternate/kesultanan Terate dan sebagian besar masyarakatnya masih memegang teguh hukum-hukum Islam sebagai penata kehidupan beragama dan bermasyakarat. Isu isu syariat Islam yang berkembang di ternate serta keadaaan masyarakat Ternate, Bacan, Jailolo yang cendrung eksklusif terhadap agama non Kristen dapat dipahami sebagai buah dari kesadaran historis tersebut untuk tetap mempertahankan Islam sebagai agama “murni“ masyarakat setempat. Kesadaran untuk memperjuangkan Islam sebagai Agama Tunggal di Maluku utara (ternate dan sekitarnya) juga merupakan refleksi dari peristiwa traumatis yang ditinggalkan Portugis, Spanyol, dan Belanda (pembawa agama Kristen). Kekristen yang hadir di wilayah Maluku cenderung menggunakan kekerasan dan politik adu domba yang sempat memecahkan beberapa kerajaan besar Maluku. Oleh karena itu para pemeluk agama Islam menolak kekristenan dari dulu hingga saat ini di mana kekristenan dikenal sebagai agama yang membawa peperangan. 
Sayangnya, Wajah Islam yang sering menempuh cara damai ini, apabila dibandingkan dengan wajah Islam Indonesia masa kini, maka akan didapati bahwa Islam masa kini telah jauh melenceng dari metode para leluhurnya yang dulu. Politik damai yang digunakan kini berganti wajah menjadi politik identitas dengan tujuan yang buruk yakni menguasai dan menaklukan pemeluk agama non-Islam. Masih teringat jelas apa yang tejadi antara bulan Oktober tahun 2016 lalu hingga bulan april tahun 2017 lalu, di mana para Ormas Islam dengan brutalnya melakukan aksi demonstrasi untuk menolak calon wakil gubernur jakarta yang berstatus pemeluk agama Kristen/Non-Islam dengan tuduhan penistaan agama. apa yang dilakukan memang sekilas murni untuk membela kesucian ajaran Islam namun tak bisa disangkal bahwa proses-proses demonstrasi yang dilakukan juga sarat akan gejala politik. agama kembali lagi dipolitisir untuk mengamankan capaian politik segelintir orang. Berdasarkan peristiwa penolakan yang dilakukan hampir di seluruh Indonesia  itu tersirat ada 3 hal  penting menurut saya :
1.      Islam sebagai Agama Mayoritas dipolotisir oleh sebagian orang untuk kepentingan kekuasaan.
2.      Segelintir orang tersebut ingin membangkitkan kesadaran Historis bahwa Islam adalah agama Mayoritas, agama Pertama (jika dibandingkan dengan agama kristen) yang menginjakan kaki di Indonesia sehingga Indentitas negara sebagai negara Islam harus dijunjung tinggi.
3.      Membangkitkan kesadaran Historis di hati dan pikiran masyarakat Indonesia bahwa sedari dahulu semenjak islam masuk di indonesia, posisi pemerintahan mulai selalu dipegang oleh mereka yang beragama Islam. Oleh karena itu posisi tersebut tidak harus tenggelam hanya karena semangan Kebinekaan di Indonesia.
4.      Kebencian terhadap Orang Kristen karena berbeda Agama dan karena sejarah kekristenan yang lebih banyak menyisakan kekerasan dan penindasan bagi masyarakat Indonesia.
4  hal di atas tentu tidak bisa dilepaspisahkan dari sejarah masuk dan berkembangnya islam dari dahulu hingga saat ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar