Minggu, 22 Oktober 2017

Teologi Pembebasan-Gustavo Gutirrez



Pendahuluan
Pada pertemuan sebelumnya kita telah mempelajari tentang teologi Pembebasan dalam Alkitab Perjanjian Baru. Dan pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang teologi pembebasan di Amerika Latin yang digagas oleh Gustavo Gutierrez, seorang pastor asal Peru yang sekaligus merupakan Tokoh teologi pembebasan. Secara garis besar tulisan ini memuat tentang latar belakang lahirnya gagasan tentang teologi pembebasan Dari Gustavo Gutierrez, bagaimana sifat dan panggilan untuk  berteologi dalam konteks Amerika Latin, pandangan alkitabiah tentang “Kedosaan” dan hubungan kritik teologi pembebasan Gutierrez dengan analisis Marxisme. Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dan tanggung jawab saya sebagai mahasiswa pada Mata Kuliah Teologi Pembebasan.

 Teologi Pembebasan Menurut Gustavo Gutierrez
Pemikiran Teologi Pembebasan  yang berkembang  di kawasan  Latin  secara umum membahas antara hubungan agama dan politik. Politik dalam konteks ini bukan hanya berbicara tentang proses birokrasi, tetapi juga mencakup semua segi kehidupan misalnya politik yang berhubungan dengan ideologi, politik yang melahirkan kebijakan ekonomi, politik yang melahirkan ketimpangan sosial hingga kekuasaan politik yang membuat kebijakan-kebijakan miring sehingga rakyat berada pada poros penindasan.  Perkawinan antara agama yang bisu terhadap penderitaan dan politik yang semakin menindas masyarakat miskin pada akhirnya melahirkan sebuah gerakan besar yakni gerakan teologi pembebasan.
Amerika Latin pada era sebelum dan saat lahirnya teologi pembebasan memiliki pergumulan berat tentang penderitaan dan kesenjangan sosial. Rakyat miskin dan kaum buruh dikondisikan sebaik mungkin oleh sistem pemerintahan dan ekonomi agar tetap menjadi miskin. Negara dan kaum borjuis mengatur sedemikian hebat agar tetap berkuasa dan kaya, sehingga posisi mereka tetap di atas untuk menguasai orang miskin   Sementara gereja yang seharusnya menentang penindasan dan ketidakadilan justru hanya memainkan perannya sebagai penyokong kekuasaan dominan. Doktrin gereja lebih bersifat menenangkan umat yang menderita dengan menjunjung tinggi kepatuhan pada kekuatan arus utama. Teologi-teologi yang dilahirkan tidak berbeda jauh dari doktin yang diajarkan yakni teologi ketabahan, teologi kehambaan, teologi kepatuhan dan teologi sejenis lainnya. Kenyataan-kenyataan inilah yang dikritik oleh gerakan teologi pembebasan.  
Melihat kenyataan bahwa gereja mengajarkan hal beriman yang bersifat transenden maka Gutierrez dan rekan-rekan dalam gerakan teologi pembebasan menawarkan cara beriman yang berbeda. Teologi pembebasan bermaksud mentransformasi dunia sebagai realisasi iman yang hanya menjadi iman sejauh dilakukan dalam praksis pembebasan. Bagi Gutierrez teologi bukan merupakan kebijaksanan, bukan pula pengetahuan rasional melainkan refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh Sabda Injil. Dalam konteks Amerika Latin berarti refleksi kritis terhadap penindasan dan praksis untuk tujuan pembebasan. Gutierrez mengatakan bahwa motivasi berteologi pembebasan bukan untuk menciptakan ideologi yang membenarkan status quo. Bukan pula sebagai obat penenang pada saat iman mendapat tantangan dari sekularisme dan konsumerisme tetapi motivasi terdalam dari berteologi ialah untuk membiarkan diri kita dinilai oleh Sabda Allah. Dengan berpikir melalui iman maka akan melahirkan cinta dan komitmen secara radikal, menyeluruh dan efisien  untuk peduli  terhadap sesama yang tertindas dan terus memberikan harapan untuk terciptanya sebuah pembebasan.
Gutierrez  mengemukakan tiga langkah dalam berteologi yakni Pertama, fakta bahwa orang kristen dan komunitas kristiani dipanggil untuk sebuah praksis yang definitif  yaitu kasih, tindakan dan komitmen untuk pelayanan sesama manusia. Dalam konteks Amerika Laitn, panggilan itu berarti ditujukan untuk aksi pembebasan manusia dari belenggu sosial, ekonomi dan  politik dari sistem masyarakat yang mengingkari kemanusiaan dan dari kedosaan yang merusak hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua, adalah bahwa teologi harus menjadi lebih kritis dalam terang injil, baik terhadap masyarakat umum maupun terhadap gereja sebagai institusi. Dalam konteks saat itu tindakan-tindakan pastoral dari gereja hanya sebatas aktivisme dan muatan teologi hanya sebatas verbalisme. Padahal diketahui bersama bahwa refleksi tanpa aksi adalah verbalisme dan aksi tanpa refleksi adalah aktivisme. Oleh karena itu, teologi harus mengambil wajah baru yakni kerja teologi haruslah kerja praksis-refleksi yang membebaskan baik masyarakat maupun gereja dari penindasan, keberhalaan, ideologi yang tidak pro pembebasan dan alienasi. Ketiga, teologi berefleksi tentang praksis iman dalam terang masa depan yang dapat dipercaya dan diharapkan untuk mentransformasi dunia menjadi lebih baik.
Teologi pembebasan Gutierrez dapat dikatakan bukan hanya bersifat orthodoxy (memantapkan ajaran) dan bukan pula hanya orthopraxis (menuntut dijalankan dalam tindakan mendunia dan menuju Allah), tetapi bersifat heteropraxis yakni orthodoxy sejauh bersumber pada orthopraxis (rumusan ajaran sejauh berpangkal dari pengalaman konkret dan kembali secara baru kepada tindakan yang dituntut oleh rumusan ajaran tersebut).
Dalam teologinya tentang Kedosaan, Guiterrez melihat bahwa kedosaan manusia tidak hanya berakar dalam hati manusia sebagai pribadi melainkan terlebih untuk zaman ini, berakar pada struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan keagamaan yang memeras dan menindas banyak orang miskin demi kepentingan sekelompok kecil masyarakat. Struktur yang tidak adil itu menjelma dalam ideologi-ekonomis “Pembangunan” yang sebanarnya mengandung unsur-unsur kejahatan seperti Tokenisme, Eksploitasi dan Paternalistik. Tokenisme adalah program pembangunan yang tetap mempertahankan sistem efisiensi untuk keuntungan material sebesar-besarnya dengan mengesampingkan faktor manusia sebagai pelaku utama pembangunan itu sendiri. Hal ini menggambarkan bahwa pembangunan hanyalah kedok untuk menutupi keserakahan sebagian orang yang memeras tanaga orang lemah sebagai alat memperkaya diri sendiri. Sekaligus sebagai bentuk tambal sulam antara hukum riba yang berdifat rimba bagi kalangan atas. Sedangkan praktek eksploitasi terjadi dalam dunia industrialisasi di mana negara-negara berkembang dengan kedok membantu negara miskin dalam produksi bahan mentah  justru pada akhirnya menyengsarakan kaum buruh dengan upah yang rendah. David Ricardo memunculkan sebuah hiposesa tentang upah besi dan hal ini diterapkan dalam analisi kependudukan oleh Thomas Malthus. Upah besi bermaksud untuk membatasi upah parah buruh pada jumlah rendah dengan tujuan  hanya untuk menggantikan sedikit dari tenaga buruh yang bekerja. Jika buruh diberikan upah yang tinggi maka para buruh akan merasa senang dan tidak akan bekerja dengan giat.  Sementara buruh juga akan menghabiskan kekayaan itu untuk menghasilkan banyak anak, yang akan berujung pada meledaknya angka jumlah penduduk. Singkatnya, upah yang tinggi dapat menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan sarana pra sarana yang pada akhirnya menyengsarakan kaum buruh itu sendiri. Pendapat ini merupakan bentuk spekulasi  dan konspirasi dari pihak pemerintah, kaum borjuis dan pemegang modal untuk mengeksploitasi tenaga buruh  dan menjadikan mereka sebagai mesin penghasil uang. Yang terakhir paternalisme, untuk mengontrol perputaran ekonomi dan politik pada negara miskin, negara kaya sering berpura-pura dermawan dengan menawarkan bantuan militer. Tindakan ini menjadi salah satu bentuk fungsi kontrol dari negara kaya agar tetap  menciptakan kesenjangan bagi tatanan hidup masyarakat di negara miskin.
Menurut Gutierrez kemiskinan bukanlah nasib yang harus diterima dengan saleh dan tabah oleh manusia. Karena pada dasarnya Allah menciptakan manusia sebagai gambar dan rupa-Nya untuk mengelolah bumi dan memanfatkan hasilnya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Jika dibandingkan dengan konteks kemiskinan Amerika Latin maka menurut Gutierrez kemiskinan itu terjadi akibat dari stuktur pembangunan yang tidak adil karenaya kemiskinan tersebut tidak harus disikapi dengan sikap saleh dan tabah. Struktur yang dengan sengaja menyebabkan ketimpangan dalam masyarakat harus diperangi namun Gutierrez tidak  menghendaki perlawanan dalam bentuk kekerasan. Apalagi jika perlawanan dengan kekerasan  tersebut datang dari pihak masyarakat miskin, tentu bukanlah hal yang mungkin terjadi mengingat kekerasan selalu berada pada tangan penguasa. Ia lebih memilih menciptakan perubahan dalam bentuk damai dan antikekerasan.
Dalam membangun kritik untuk pemerintah dan Gereja, Gutierrez dan para teolog pembebasan lainnya juga menggunakan analisis Marx tentang “perjuangan kelas” dan “perubahan struktur” . Hal ini oleh para kritikus yang berlawanan dengan teolog pembebasan menyebutnya sebagai dosa terhadap kristianitas. Kita tahu bersama bahwa Marx dalam teorinya terhadap Kapitalisme dan kesenjangan sosial, seakan-akan menyalahkan Gereja dan ingin menghapuskan gereja karena menurutnya gereja tidak lebih sebagai candu untuk melanggengkan penindasan dan kemiskinan. Teori-teori Marx pada zaman itu memang merupakan teori yang sering menyudutkan Kekristenan. Oleh karena itu ketika Gutierrez menggunakan kajian-kajian Marx untuk membedah realitas ketidakadilan sosial dan penindasan, Ia dituding berdosa terhadap kekristenan. Namun, hal ini tentu tidaklah benar. Sebab meskipun menggunakan analisis dari Marx yang sering menyudutkan geraja, Gutierrez tetap tidak kehilangan kekristenannya. Sejak duduk dibangku kuliah hingga berkiprah sebagai pastor, Gutierrez banyak mempelajari tulisan-tulisan Marx. Ini membuat Gutierrez tidak menelan dengan mentah analisis Marx begitu saja melainkan pikiran Marx digunakan Gutierrez sebagai alat  analisis yang dapat merekam, mendeskripsikan dengan tepat keadaan ketidakadilan dan praktik kekerasan yang melembaga di Amerika Latin. Gutierrez meskipun menggunakan analisis Marx tetapi ia juga mengkritisi pikiran-pikiran Marx yang menurutnya tidak Alkitabiah. Menurut Gutierrez, ide tentang kritik terhadap perjuangan kelas telah ada jauh sebelum adanya teori Marx. Salah satunya adalah pada zaman Santo Lukas yang hidup tahun 1800 (sebelum Marx lahir). Ide yang sama juga telah muncul dalam teks-teks Alkitab, misalnya  teks  dalam  Lukas 4:18 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”. Teks ini aslinya berasal dari Yesaya yang hidup di zaman 2500 tahun sebelum analisis Marx tampil. Begitu juga dengan ide tentang perombakan struktural, telah ada sejak zaman injil-injil, misalnya teks dalam injil lukas 1: 51-53 “Ia memperlihatkan kuasa-Nya dengan perbuatan tangan-Nya dan mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya, Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah,  Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa;”.  Teks-teks Alkitab dan ide dari Santo Lukas menegaskan bahwa sebenarnya gagasan untuk perombakan stuktur dan perjuangan kelas bukan miliki Marx semata, jauh sebelum Marx alkitab telah menuliskannya. Menggunakan analisis Marx adalah cara Gutierrez dan kawan-kawan membuka diri terhadap analisis lain dalam membangun analisis dan kritik bersama untuk konteks penindasan yang melembaga di Amerika Latin.
   Kesimpulan
    Amerika Latin pada zaman Gutierrez dipenuhi dengan berbagai dinamika sosial yang  menampilkan ketidakadilan dan kekerasan yang melembaga. Keadaan ini membuat umat semakin terpuruk dan menderita tetapi gereja seakan-akan mengurung Tuhan dalam tempat-tempat ibadah. Tuhan dirasakan hanya dalam ritus-ritus tetapi kehadiran-Nya tidak dirasakan dalam keseharian masyarakat Amerika Latin yang menderita. Hal ini kemudian ditentang oleh para teologi pembebasan salah satunya adalah Gustavo Gutierez. Allah tidak harus digambarkan sebagai Allah yang diam terhadap ketidakadilan dengan jalan menabahkan hati orang-orang tertindas saja, tetapi kehadiran Allah harus menjadi daya dorong untuk pembebasan. Gereja sebagai representasi Allah dalam dunia harus menyuarakan suara profetisnya untuk melawan ketidakadilan dan kekerasan yang melembaga. Iman dari gereja adalah iman yang harus melakukan praksis melawan penindasan sesuai dengan doktrin kekristenan bahwa tujuan utama kedatangan, penderitaan dan kematian Kristus adalah upaya untuk membebaskan. Sebagaimana Kristus bermisi untuk membebaskan manusia dari pederitaan maka gereja sebagai pengikut kristus harus melakukan hal yang sama, agar tercipta keselarasan antara Refleksi dan Praksis. Inilah cara beriman yang benar yang tawarkan oleh Gustavo Gutierrez.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar