Minggu, 15 Oktober 2017

LGBT dalam Konteks Gereja dan Bangsa

I.                   PENDAHULUAN
Indonesia dianugerahi dengan beragam kekayaan alam, keberagaman manusia, budaya, etnis, lapisan ekonomi dan agama yang membentuk wajah Indonesia seperti sekarang ini. Bukan hanya itu, kompleksitas permasalahan secara beruntun juga turut mewarnai dinamika bernegara bahkan bergereja di Indonesia. Dimulai dari isu korupsi, kolusi, nepotisme, ketidakadilan, perdagangan manusia, inflasi harga barang, eksploitasi lingkungan hingga LGBT. Masalah-masalah di atas mewakili  berbagai bidang, mulai dari bidang politik, hukum, ekonomi, kemanusiaan, lingkungan, agama hingga etika. Khususnya untuk masalah di bidang etika dalam hubungannya dengan agama dan moral, LGBT bukan lagi masalah yang baru tetapi bukan juga masalah yang sudah “basi” untuk dikaji dan diperbincangkan.
LGBT  adalah  akronim  dari  Lesbian,  Gay,  Biseksual  dan  Transgender.  Lesbian  merupakan  istilah  yang umum  digunakan  untuk  para  perempuan  yang  mengarahkan  pilihan  orientasi  seksualnya  kepada  sesama perempuan,  atau  perempuan  yang  mencintai  perempuan  baik  itu  secara  fisik,  seksual,  atau  emosional. (http://jurnalperempuan.com/2011/siapakahlesbian/ ).  Gay  atau  Homo  adalah  istilah  untuk  laki-laki  yang memiliki  kecenderungan  seksual  kepada  sesama  pria,  atau  pria  yang  mencintai  pria  baik  secara  fisik,  seksual, atau  emosional.  (http://id.wikipedia.org/wiki/Gay ).  Biseksual  adalah  istilah  untuk  seseorang  penyuka  sejenis atau  dua  jenis  kelamin,  yaitu  wanita  dan  pria.  Biseksual  kerap  dipandang  sebagai  salah  satu  bentuk penyembunyian identitas homoseksual atau sebagai masa transisi antara identitas heteroseksual dan identitas gay dan lesbian. Transgender adalah orang yang identitas gendernya bukan laki-laki dan perempuan atau berbeda dengan yang biasa ditulis dokter di sertifikat. Istilah tersebut digunakan untuk menggantikan frasa “komunitas gay” karena istilah tersebut sudah mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan. (http://mitrawacanawrc.com/final/index.php?option=com).
Masalah LGBT menjadi wacana yang semakin hari semakin hangat. Hal ini ditandai oleh munculnya berbagai oraganisasi LGBT, berbagai kontes kecantikan yang diikuti oleh kelompok gay, hingga munculnmya sosok-sosok LGBT yang  mewarnai layar kaca di Indonesia. Fenomena-fenomena di atas, sontak membangunkan berbagai kalangan untuk memberi respon. Ada yang setuju dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan ada yang secara keras mengharamkan fenomena ini dengan landasan nilai-nilai agama. Gereja juga tidak ketinggalan dalam merespon isu LGBT mengingat isu ini dihubungkan dengan nilai-nilai kekristenan. Respon tersebut bersumber dari gereja sebagai lembaga hingga komunitas akar rumput dalam gereja yang tidak lain adalah anggota jemaat. Sikap yang ditampilkan gereja (baik lembaga maupun pribadi jemaat) terbilang cukup beragam,  ada yang secara  keras menentang, ada yang tidak sepenuhnya menerima, dan ada yang membela hak-hak anggota LGBT tanpa benar-benar menolak atau menerima mereka. Menyikapi isu LGBT yang berkembang dalam jemaat, maka mata kuliah Isu-Isu Teologi Yang Berkembang Dalam Jemaat bermaksud untuk mengkaji isu tersebut dalam rana studi teologi. Tulisan ini ditulis dalam rangkan memenuhi kewajibann saya sebagai mahasiswa dalam mata kuliah Isu-Isu Teologi Yang Berkembang Dalam Jemaat dengan fokus pada isu LGBT.
Untuk lebih memahami isu LGBT maka mahasiswa pada kelas Isu-Isu Teologi Yang Berkembang Dalam Jemaat  berkesempatan untuk sharing bersama dengan ketua  organisasi  Sanubari Sulawesi Utara (SALUT). SALUT merupakan  salah satu organisasi LGBT yang ada di Sulawesi Utara. Tulisan ini akan memuat sedikit laporan dari hasil sharing dan analisis terkait dengan pandangan kekristenan secara umum dan pandangan pribadi saya secara khusus terhadap LGBT.  Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang masalah LGBT saya akan memberikan batasan dalam penulisan makalah ini. Makalah ini tidak bertujuan untuk pada akhirnya saya harus memutuskann setuju atau tidak setuju menikahkan sesama anggota LGBT. Dalam tulisan ini saya hanya akan memberikan perhatian tentang pendapat saya dalam memandang orang-orang dalam kelompok LGBT dan bagaimana LGBT dalam pandangan Kekristenan. Semoga Bermanfaat !..

II.    Laporan Hasil Sharing
Sanubari Sulawesi Utara (SALUT) berdiri pada tanggal 07 Juli 2012. Organisasi ini diprakarsai oleh Rajawali Koko, Steni Wildy dan Maikel Wandow.  Komunitas SALUT dibentuk  menampung aspirasi para anggota LGBT dan memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara. Munculnya organisasi ini sebagian besar dilatarbelakangi oleh kesadaran akan tindak diskriminatif yang selalu diterima oleh kelompok LGBT, dan upaya perlawanan terhadap tindak tersebut. Tetapi juga sekaligus sebagai bentuk protes untuk memperoleh hak-hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya yang tergolong heteroseksual.  
Menurut Rajawali Koko ketua SALUT, organisasi ini tidak menetapkan pengakuan akan perkawinan sesama jenis menjadi prioritas utama  dalam perjuangan mereka tetapi kebutuhan untuk mengakses hak-hak sipil sebagai warga negara yang diutamakan. Banyak anggota LGBT mengalami tindakan diskriminasi mulai dari usia anak-anak hingga usia dewasa  hingga saat ini. Bahkan menurut pengakuannya, ia sendiri pernah mengalami berbagai macam tindak kekerasan, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis hingga kekerasan seksual dari oknum-oknum tertentu. Ketika  masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), Koko pernah mengalami tindak pelecehan seksual oleh gurunya sendiri. Ia juga menjadi korban Bullying dari teman-teman sekolahnya hanya karena pembawaan yang agak “gemulai”. Ia mengalami penolakan dari keluarganya dan nyaris dibunuh oleh bapaknya hanya karena diketahui bahwa ia ternyata homoseksual. Ia juga melayani sebagai pelayan di gereja. Namun, ketika gereja mengetahui keberadaannya sebagai gay maka ia diusir secara  perlahan dari gereja dengan cara membatasi dirinya dari pelayanan gereja. Tidak sampai di situ, pendeta di gereja tempatnya melayani pernah mengubah isi khotbah yang awalnya jauh dari topik Sodom dan Gomora tetapi karena menyadari keterlibatan koko dalam ibadah tersebut, kemudian menggiring khotbah tersebut menjadi  khotbah anti gey dengan menggunakan peristiwa Sodom dan Gomora. Rekan-rekan sesama pelayan yang mengetahui keberadaannya sebagai gay secara perlahan tapi pasti membatasi diri dengan Koko. Sejumlah peristiwa ini merupakan contoh sebagian kecil dari penolakan yang harus ia hadapi sebagai resiko seorang gay.
Rajawali Koko, juga berbagi cerita seputar anggota kelompok LGBT yang mengalami kekerasan serupa. Namun, dalam penuturannya ia  tidak menyebutkan dengan jelas identitas dari anggoa kelompok tersebut. Menurut pengalamannya bersama anggota LGBT, ada yang mendapat kekerasan ekstrim hanya karena masyarakat setempat ingin mengembalikan jati diri seorang lelaki bagi orang itu. Tidak tanggung-tanggung  ia (anggota kelompok LGBT) pernah dikencingi oleh sebagian besar orang-orang yang ada di kampungnya.
Alasan lain selain “tidak bermoral” yang sering menjadi stigma di mata masyarakat ialah bahwa kelompok LGBT merupakan  penyalur dan penyumbang terbesar untuk HIV AIDS. Dengan stigma ini maka, masyarakat memandang kelompok LGBT sebagai  kelompok “menjijikan” yang harus dihindari.
Ada hal lain yang menjadi masalah dominan bagi kelompok LGBT SALUT yakni kesulitan untuk memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP). Berdasarkan pengalaman yang terjadi, anggota kelompok LGBT yang berekpresi sebagai perempuan (waria)  sangat sulit untuk mendapatkan KTP walaupun prosedur yang diikuti sudah sesuai aturan. Pegawai catatan sipil tempat  mereka  mengurus administrasi pembuatan KTP, lebih memprioritaskan laki-laki dengan ekspresi maskulin (laki-laki normal) daripada laki-laki dengan ekspresi feminin (waria). Walaupun telah menunggu seharian, pada akhirnya “blangko kosong” atau “blangko for KTP so abis” selalu menjadi jawaban untuk penantian selama sehari atau bahkan beberapa hari yang mereka usahakan. Contoh lain lagi dari tindak diskriminasi yang dilakukan terhadap kelompok LGBT adalah keika anggota LGBT yang transgender pada saat di Bandar Udara Sam Ratulangi hendak pergi ke kamar kecil perempuan, ia dilarang dan dicegat kemudian diarahkan ke kamar mandi untuk penyandang disabilitas.
Kelompok LGBT yang mendapat begitu banyak perlakuan tidak adil kemudian sadar akan eksistensi mereka. Kesadaran ini berujung pada upaya untuk mengajukan posisi tawar kepada pihak-pihak yang berkuasa (Pemerintah, Gereja dan Masyarakat) untuk memiliki kesetaraan hak dan kewajiban di dalam masyarakat. Karena itu lahirlah SALUT untuk menjadi wadah bagi upaya tersebut. Namun, hal ini tidak menjamin kelancaran dari organisasi ini. Banyak hal kemudian mengahadang jalannya roda organisasi. Antara lain, fatwah gereja maenstrim di Minahasa, Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) untuk menolak LGBT dengan berpedoman pada landasan Alkitabiah. Meskipun demikian, SALUT tetap bergerak menyuarakan kebutuhan mereka.
Ralasi yang tercipta di antara sesama kelompok LGBT terlihat seperti kelompok orang-orang heteroseks. Mereka saling peduli terhadap sesama kelompok. Ada beberapa program yang menonjolkan hal itu antara lain program Apa Kabar Hati dan Janji Iman. Program Apa Kabar Hati  merupakan program saling sapa dan sharing tentang hubungan antar pasangan dalam kelompok. Masalah-masalah dalam hubungan asmara dibahas dalam program ini sehingga sebisa mungkin dapat memberikan solusi kepada pasangan yang bermasalah. Program  Janji Iman  merupakan program yang memuat komitmen untuk saling menolong satu dengan yang lain sebagi bagian dari janji iman dalam kelompok SALUT. Biasanya, dalam program janji iman jika  ada anggota kelompok yang mengalami kesulitan dalam hal keuangan maka, anggota kelompok yang memiliki kondisi keuangan yang baik dapat memberikan bantuan berupa uang sebagai bentuk janji iman untuk meringankan beban dari anggota kelompok yang kesulitan tadi. Namun, tidak selamanya janji iman hanya berupa uang. Ada juga berupa ide, tenaga, kepedulian dll.
Kelompok SALUT dalam upaya menyuarakan kebutuhan kelompok (bebas dari diskriminasi, kesetaraan hak, bebas dari perilaku bullyin dsb.) membangun relasi dengan pihak-pihak terkat misalnya LSM yang bergerak dibidang sosial dan HAM, pemerintah dalam program-program tertentu. Pihak-pihak tersebut tidak dapat saya gambarkan secara rinci disebabkan keterangan yang tidak memadai dari hasil wawancara.

III.   Beberapa Sudut Pandang Tentang LGBT

a.      Prespektif Biologi
Berbicara Orientasi seksual kepada sesama jenis, menurut ahli biologi dihubungkan dengan tiga faktor  yakni keadaan hormonal, gen, dan otak. Dijelaskan bahwa seorang gay atau lesbian memiliki hormon sex yang lebih sedikit dibanding pria atau wanita normal. Namun terdapat kritik pada teori ini yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan hormonal antara gay atau lesbian dengan pria atau wanita pada umumnya. Alasan biologis selanjutnya adalah karena faktor keturunan, sehingga memang secara gen orang sudah dilahirkan sebagai gay atau lesbian. Simon Le Vay (1996) dan Ridley (1996), menemukan bahwa terdapat perbedaan ukuran hipotalamus dan macam-macam syaraf pengendali dorongan seksual di bagian bawah otak. Gay dan lesbian memiliki ukuran otak yang lebih kecil dibanding manusia pada umumnya. (http://wardiantomuhammad.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html )
b.      Perspektif  Sosiologi
Dalam masyarakat sendiri pandangan atau sikap mengenai homoseksualitas sangat beragam, namun  terlepas  dari  perbedaan  tersebut  sosiologi  memberikan  perhatian  terhadap  pelaku homoseksualitas  maupun  perilaku  homoseksualitas  itu  sendiri.  Dalam  hakikatnya  sebagai makhluk  sosial  manusia  akan  membentuk  sebuah  struktur  ataupun  sistem  masyarakat, selanjutnya struktur maupun sistem dalam masyarakat tersebut akan melahirkan standar nilai maupun norma yang akan menjadi pedoman hidup bagi warga masyarakatnya. Ketika suatu kelompok  maupun  individu  tidak  mampu  memenuhi  standar  nilai  maupun  norma  yang berlaku  dalam  masyarakat,  maka  individu  maupun  kelompok  tersebut  akan  diangggap menyimpang. Homoseksualitas merupakan salah satu fenomena yang dianggap menyimpang karena  seringkali  berbenturan  dengan  standar  nilai  maupun  norma  yang  ada  dalam  banyak kelompok masyarakat.
Pada  awalnya  istilah  homoseksual  digunakan  untuk  mendeskripsikan  seorang  pria  yang  memiliki  orientasi  seksual  terhadap  sesamanya. Namun  dalam  perkembangannya,  istilah homoseksual digunakan untuk mendefinisikan sikap seorang individu (pria maupun wanita) yang  memiliki  orientasi  seksual  terhadap  sesamanya.
Kajian  mengenai  hommoseksual  dapat  ditinjau  dari  tiga  aspek,  yaitu  orientasi  seksual, perilaku  seksual,  dan  identitas  seksual.  Dilihat  dari  aspek  orientasi  seksual,  maka homoseksual adalah ketertarikan maupun hasrat untuk terlibat secara seksual terhadap orang yang berjenis kelamin sama. Ditinjau dari aspek perilaku seksual, Homoseksual  mengandung  pengertian sebagai sebuah perilaku maupun kegiatan seksual antara dua orang yang berjenis kelamin sama. Baik  gay maupun lesbian, keduanya memiliki citra  yang negatif dalam masyarakat.

c.       Perspektif Psikologi
Mengemukakan perspektif psikologi terhadap kelompok LGBT, saya akan menggunakan pendapat dari Sigmun  Frued. Menurut Freud seksualitas merupakan dorongan utama dalam kehidupan manusia. Bagaimana pandangan Frued dengan LGBT? Bagi sebagian besar psikolog, lesbian, gay, biseksual dan trangender merupakan bentuk penyimpangan  seksual.  Apa  yang  disebut  dengan  normal  dalam  pandangan  mereka  adalah  hubungan yang  bersifat  heteroseksual,  pria  dan  wanita.  Namun,  bagi  Frued  yang  intens  meneliti  tentang homoseksual, masalah LGBT tidak bisa hanya dijustifikasi dengan benar atau salah secara apologetik.  Kita harus meninjaunya dari berbagai aspek. Dalam penelitiannya, Frued menemukan beberapa faktor kenapa seseorang memilih untuk terlibat dalam aktivitas seksual komunitas LGBT.
1.  Faktor Prinsip Hidup.
Menurut Frued, setiap manusia memiliki dua prinsip, mati dan hidup (dead and life). Prinsip dead  merupakan prinsip yang cenderung merusak dan agresif. Sedangkan prinsip  life  adalah  prinsip  manusia  untuk  mempertahankan  diri  dan  mengembangkan  kepribadiannya  di  dalam realitas  kehidupan.  Prinsip  life  cenderung  terarah  kepada  pemuasan  libido.  Dalam  hal  ini libido  adalah  satu-satunya  energi  dasar  kehidupan  manusia  dalam  mencari  kelezatan  dan kesenangan hidup tanpa melihat norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2.  Faktor Lingkungan.
Berkenaan  dengan  hal  ini,  Freud  memegang  prinsip  determinisme  psikologis,  yaitu  setiap manusia  telah  menentukan  sebelumnya  untuk  hidup  di  sebuah  lingkungan  tertentu.  Dalam kaitannya  dengan  LGBT,  faktor  lingkungan  menjadi  alasan  kenapa  seseorang  menentukan pilihan  untuk  lerlibat  dalam  komunitas  LGBT.  Perlakuan  kurang  simpatik,  kekerasan  dari lawan  jenis,  pemondokan  sesama  jenis,  dan  perlakuan  tidak  senonoh  lainnya  merupakan indikator-indikator  lingkungan  yang  menentukan  seseorang  untuk  bergabung  ke  dalam komunitas LGBT.

3.  Faktor Kebebasan Seksual (Free Sex)
Kebebasan  sex  (free  sex)  pada  titik  tertentu  akan  mendorong  seseorang  untuk  mencari kepuasan seks dari gaya dan varian seks lainnya, atau terlibat dalam aktivitas seksual seperti yang dilakukan oleh komunitas LGBT.

          4.  Faktor Genetik
Perkembangan  biologi  molekuler  dan  genetika  memberi  warna  baru  dalam  memahami eksistensi  manusia.  Saat  ini,  semua  yang  menyangkut  dengan  kepribadian  dan  historisitas keturunan manusia bisa ditinjau dari aspek genetik, lebih spesifiknya DNA. Melalui DNA kita bisa  memahami  sifat-sifat  seseorang.  Sebut  saja,  berani,  lembut,  panakut,  pemalu,  terbuka, tertutup, emosional dan sebagainya. Melalui DNA juga kita bisa memahami kecenderungan seseorang untuk bersifat setengah laki-laki dan setengah perempuan yang berimplikasi kepada kesulitan  seseorang  untuk  menentukan  jenis  kelaminnya.  Dengan  demikian,  kita  bisa
memahami  bahwa  kecenderungan  seseorang  untuk  masuk  ke  dalam  komunitas  LGBT  bisa disebabkan oleh faktor genetik.

          5.  Faktor Hormon
Dalam  ilmu  biologi  disebutkan  bahwa  sifat  maskulin  dan  feminin  sangat  ditentukan  oleh hormon  testosteron  dan  progesteron.  Kelebihan  kadar  hormon  testosteron  misalnya, menentukan  seorang  lelaki  untuk  menyukai  lawan  jenis  (wanita).  Jika  sebaliknya,  ia  akan menyukai sesama jenis (laki-laki). Begitu juga sebaliknya dengan perempuan.

6.  Faktor Ketidakpuasan Seks Dengan Pasangan
Ketidakharmonisan hubungan seksual suami istri menjadi salah satu faktor kenapa seseorang mengalihkan orientasi seksualnya seperti aktivitas seksual yang dilakukan oleh kaum LGBT.
Dengan  bersandar  kepada  enam  faktor  di  atas,  Frued  mengungkapkan  bahwa  LGBT  bukan sebuah  kelainan,  tetapi  sebagai  aktivitas  manusia  yang  secara  psikologis  bersifat  wajar.  Tentunya pendapat ini banyak tentangannya, karena sebagian besar psikolog menganggap keenam faktor tersebut tiada  lain  adalah  alasan  kuat  seseorang  untuk  memalingkan  orientasi  seksualitasnya  yang  normal  ke dalam  bentuk  orientasi  seksual  yang  tidak  wajar  atau  menyimpang,  yang  dalam  konteks  ini  adalah aktivitas seksual kaum LGBT.

d.      Perspektif Teologis
Jika ditinjau dari sisi teologi, kita harus mempertanyakan bahwa dapatkah LGBT memiliki ruang teologis? Hal ini perlu dipertanyakan mengingat kenyataan yang terjadi adalah penolakan dari berbagai agama terhadap polemik LGBT. Penolakan agama terhadap kelompok LGBT sontak menggiring persepsi yang sama bagi masyarakat sehingga penolakan agama tersebut dianut juga oleh masyarakat pada umumnya.  Akhirnya, mereka tidak memiliki ruang gerak, dibunuh tidak, gerak ditindak. Inilah kendala besar yang dihadapi oleh komunitas LGBT. Oleh karena itu, untuk memperoleh legitimasi  teologis  mereka  melakukan  reinterpretasi  teks-teks  keagaman  yang  ditinjau  dari  sisi humanistik  dan  etik.  Dan tentunya  bahasan  yang  paling  fundamental  dalam  hal  ini  adalah  berkenaan dengan  teks-teks  yang  mengungkap  fenomena  seksualitas  (homoseksual)  umat  nabi  Lot yang kemudian dikiaskan dengan aktivitas seksual LGBT.
Dalam kaca mata Kekristenan khususnya di Indonesia, homoseks dipandang sebagai sebuah dosa.  Penekanan bahwa homoseks adalah dosa  dan perlawanan terhadap ketetapan Allah akan digambarkan dalam ayat-ayat Alkitab berikut ini.
-          Imamat 18:22 yang mengatakan bahwa: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.”
-          Larangan ini kemudian diperkuat di dalam Imamat 20:13, “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
-          Roma 1:25-27, “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus dipuji selama-lamanya, amin. Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, lakilaki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.”
-          Kej.1:27  “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nyamereka.” Selain itu di dalam Kej. 2:18 dikatakan bahwa,”TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.
-          Kej 2:23-24,” Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari lakilaki.’ Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
-          Ayat-ayat tentang Sodom dan Gomora yang tertuang dalam Kej 19:4-11, 24-25
Ayat-ayat di atas secara tegas menolak perilaku homoseksual. Dalam melawan kelompok  LGBT ayat-ayat di atas digunakan . Bahkan sering kali penghakiman dari gerja pun melayang berdasarkan ayat-ayat di atas. Menurut  Teologi Kristen pada mulanya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai mitra kerja Allah yang diberkatinya untuk beranak cucu penuhi bumi. Dengan peralihan orientasi dari heteroseks ke homoseks tentu melanggar perintah Allah, yang di kemudian hari dalam Imamat dikecam sebagai kekejian di hadapan Allah.

VI. Analisis
Setelah melakukan percakapan dengan kelompok LGBT SALUT dan membaca berbagai perspektif dalam bidang kehidupan tentang LGBT, tentu bukanlah hal yang mudah untuk memutuskan bagaimana  sikap saya secara ideal menaggapi isu LGBT ini. Saya sendiri membatasi diri untuk menilai secara subjektif tentang benar atau salah perilaku homoseksual. Selain karena secara akedemis ilmu yang saya peroleh belum seberapa, ada berbagai ahli yang juga mengemukakan pendapat mereka secara luar biasa tentang LGBT tetapi masih juga ditolak oleh masyarakat. Apalagi jika saya yang memberikan penialaian, tentu bukan kapasitas saya untuk hal itu. Di atas segalanya, menurut saya kebenaran mutlak ada pada pihak Sang Benar yaitu Allah.
Selaku orang Kristen yang mempercayai Alkitab sebagi kebenaran  Firman Allah, saya sangat menghormati nilai-nilai yang dimiliki dalam alkitab, termasuk penolakan terhadap kelompok LGBT. Namun, di sisi lain saya juga menyadari ada banyak ayat alkitab yang mengajarkan kasih secara komrehensif termasuk kasih terhadap mereka yang LGBT. Bagaimana mungkin, kita memegang erat beberapa ayat yang mendiskriminasi kelompok LGBT kemudian melepaskan ayat-ayat yang justru menganjurkan perilaku kasih bagi mereka? saya rasa keduanya harus berimabang. Bahwa kita memegang yang satu tanpa harus melepaskan yang lain. Meskipun demikian, sebagai orang yang belajar tenang sejarah  penulisan alkitab, saya menganjurkan untuk tidak menafsir ayat-ayat yang berisi kecaman terhadap kelompok LGBT secara harafiah. Alkiab ditulis pada konteks dan penulis yang berbeda-beda namun sebagian besar isi alkitab ditulis di bawah tradisi patriakhal. Tradisi patriakhal selalu merujuk pada dominasi laki-laki yang dikenal dengan sikap perkasa, heroik pemberani dan keras dalam prinsip. Jika demikian adanya proses penulisan alkitab itu, maka sudah jelas laki-laki dengan ekspresi dan pembawaan perempuan pasti dikecam oleh para penulis alkitab. Intinya adalah, menurut saya ayat-ayat kecaman terhadap kelompok LGBT harus ditafsir dengan menggunakan kacamata baru yang lebih humanis.
Untuk lebih memperuncing analisa saya dalam menaggapi isu LGBT, maka perhatikanlah pendapat dari James Nelson, seorang profesor etika yang dimuat dalam artikel Ira D. Mangililo tentang Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender Menurut Pandangan Kristen berikut ini:
James Nelson, seorang profesor etika mengatakan bahwa keberadaan kaum homoseks yang semakin banyak terutama di kalangan orang  Kristen sendiri menuntut gereja untuk tidak melupakan tanggung jawabnya untuk menghadapi isu ini dengan cara yang lebih terbuka, jujur dan sensitif. Menurut  Nelson, sudah saatnya bagi gereja untuk melihat kembali teologi dan praktek keimanannya. Ada lima point utama yang kemukakan oleh Nelson yaitu: 1) Kaum homoseks Kristen adalah saudari dan saudara kita yang secara tulus mencari penerimaan gereja terhadap mereka tanpa adanya prejudis berdasarkan orientasi seksual mereka – sesuatu yang merupakan jalan hidup mereka; 2) gereja harus mengambil tindakan yang penuh tanggung jawab untuk menghadapi sikap antihomoseks yang kuat di dunia ini dengan cara membentuk, mendukung dan mengubah sikap negatif terhatap kaum homoseks; 3) Perintah kekristenan untuk melakukan keadilan sosial hendaknya tidak membuat kita lupa bahwa diskriminasi terhadap berjuta-juta kaum homoseks terus terjadi hingga saat ini. Mereka diingkari haknya atas pekerjaan, perumahan,  akomodasi publik, pendidikan dan dalam menikmati kemerdekaan mendasar yang seyogyanya dinikmati oleh para warga negara di wilayahnya; 4) Gereja dipanggil untuk terus mengasah upaya-upaya berteologi dan beretikanya sebertanggung jawab mungkin. Pandangan-pandangan penting dari para teolog feminis, para homoseks Kristen dan mereka yang merupakan para pakar sekuler mengingatkan kita melalui berbagai cara tentang bagaimana kondisi seksualitas kita sendiri mempengaruhi dan mewarnai persepsi kita tentang sifat dan kehadiran Allah di dunia. Jika prinsip-prinsip di dalam Kekristenan kita membuat kita melawan berbagai upaya pengabsolutan penilaian-penilaian teologis yang telah terjadi disepanjang sejarah, maka demikian pula keterbukaan kita terhadap penyataan yang berkelanjutan Allah hendaknya meyakinkan kita, bersama dengan para leluhur iman kita bahwa “Tuhan memiliki terang kebenaran yang hendak dinyatakan; 5)Mayoritas berorientasi hereteroseksual di dalam gereja-gereja memiliki banyak keuntungan ketika bergulat di dalam masalah homoseksualitas yaitu peningkatan kemampuan untuk mencintai manusia lain dengan lebih sungguh dan tanpa rasa takut.
Lima point yang ditawarkan oleh Nelson ini menunjukkan dinamika yang dihadapi oleh gereja-gereja Kristen baik yang ada di dunia maupun di Indonesia bahwa cepat atau lambat kita harus berusaha untuk menerima kenyataan bahwa kaum LGBT ada di tengah-tengah kita dan kita harus berupaya untuk menanggapi keberadan mereka. Gereja tidak dapat terus menutup diri terhadap kelompok LGBT karena mereka juga termasuk domba yang harus dilayani oleh gembala gereja.  Bukankah dalam I Korintus 12 : 22 & 23 menegaskan tentang prioritas pelayanan bagi mereka yang “tidak elok” dan “lemah” ? gereja dengan doktrin penolakan terhadap kelompok LGBT, pemerintah dengan kekuasannya yang mendiskriminasi hak-hak sipil mereka  dan stigma masyarakat yang selalu mendiskreditkan   menunjukan bahwa kelompok LGBT merupakan kelompok yang “tidak elok” dan “lemah” atau menurut saya lebih tepatnya “dilemahkan” oleh sistem. Oleh karena itu, mereka yang LGBT harus mendapat perhatian lebih dari gereja. Mereka tidak berbeda dari orang-orang yang diperjuangkan dalam berbagai teologi gereja seperti  teologi pembebasan, teologi Hitam, teologi Minjung dll. Konteks yang membentuk teologi-teologi tersebut adalah konteks ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, budaya  yang berujung pada tindak diskriminasi terhadap mereka yang lemah. Jika gereja berdiri tegak untuk melawan ketidakadilan  seperti di Afrika, Amerika Latin hingga Asia, mengapa gereja justru menindas mereka yang juga merupakan kelompok lemah dalam tubuh gereja. Jika gereja melakukan penolakan secara utuh dan mengabaikan tanggungjawab pembinaan terhadap kelompok LGBT maka menurut saya gereja tidak lagi menampilkan wajah Kristus yang penuh kasih.
Setelah meilhat   panjang lebar penjelasan di atas maka, secara pribadi saya menerima keberadaan kelompok LGBT dengan semua perbedaan orientasi seksual mereka. Bahan refleksi yang mendasari penerimaan saya salah satunya adalah dengan mengingat perkataan Kristus tentang “siapakah sesamamu” dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati. Sesamaku bukan hanya mereka yang heteroseksual tetapi juga mereka yang homoseksual. Tentang dosa, itu adalah kapasitas Allah. Yang penting bagi saya adalah melakukan baik sesuai dengan perintah Yesus untuk saling mengasihi. Tentang “pertobatan” dari LGBT ke perilaku seks yang “Normal”, itu juga bukan kapasitas saya. Saya percaya bahwa Allah adalah pemilik hati yang akan menggerakan hati ciptaannya termasuk LGBT, jika Ia menginginkannya. Pertobatan juga berhubungan dengan pengalaman spiritual manusia dengan Allah. Jika gereja berkerinduan untuk “menyadarkan” kelompok LGBT agar berperilaku seks secara heteroseksual, maka sebaiknya gereja tidak anti terhadap mereka. Justru gereja harus selalu mendoakan dan melayani mereka dengan cinta, maka biarkan Allah yang mengatur langkah mereka selanjutnya, itu urusan Allah.
Meskipun demikian, menurut saya ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari perilaku seks kelompok LGBT.  Sejauh yang saya tahu, kelompok LGBT yang membangun hubungan asmara, sebagian besar akan berujung pada kegiatan hubungan intim. Hal ini tidak selamanya dibenarkan. Sama seperti hubungan cinta kelompok heteroseks, cinta tidak sesalu bermuara pada hubungan seks begitu juga yang saya harapkan dalam  hubungan cinta homoseks.  Cinta adalah perhatian dan tindakan yang saling menopang dan mendukung guna kemajuan bersama. Jika cinta disempitkan hanya dalam hubungan intim maka justru akan menjadi sumber penyakit  dan menghancurkan makna cinta itu sendiri. Oleh karena itu, sekiranya kelompok LGBT (juga kelompok heteroseksual) membatasi diri dengan perilaku seks bebas yang sangat sekuler untuk meminimalisir kemungkinan penyakit-penyakit tertentu.



Sabtu, 14 Oktober 2017

Teologi Pembebasan dalam Perjanjian Baru (PB)



Pada kesempatan sebelumnya kita telah membahas tentang teologi pembebasan dalam perjanjian lama dan pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang teologi pembebasan perjanjian baru. Tulisan ini akan menjelaskan tentang beberapa peristiwa sebagai bentuk dari pembebasan yakni peristiwa Penyaliban dan kebangkitan Yesus,  pengusiran setan yang dilakukan Yesus di danau Geraza dan peristiwa penyembuhan yang dilakukan Petrus kepada Orang yang lumpuh.  Berikut ini adalah penjelasannya:
1. Kristus Sebagai Pembebas
Jika membaca perjanjian baru, maka fokus dari pemberitaannnya adalah tentang Yesus Kristus. Yesus menjadi puncak Mahakarya Allah dalam sejarah manusia untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa dan penindasan. Kedatangan Yesus merupakan anugerah bagi manusia dan dunia, karena melalui-Nya terjadi pemulihan baik dalam relasi antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan  alam. Inti dari kematian dan kesengsaraan Yesus tidak lain adalah sebagai penyelamat dan pembebas. Sebagai penyelamat artinya Yesus bertindah secara Vertikal untuk mendamaikan manusia dan Allah. Setelah manusia jatuh dalam dosa di taman eden maka ada jarak antara manusia dan Allah. Kisah di taman Eden tidak  berhenti begitu saja, manusia selanjutnya terus melakukan perlawanan terhadap perintah Allah sepanjang generasi yang ada. Keterputusan itu secara bertahap mulai diperbaiki Allah lewat nabi-nabi utusan-Nya. Tetapi, manusia belum benar-benar terbebas dan menyatu dalam Allah karena dosa mereka tidak benar-benar terhapus. Dalam tradisi Israel kuno, untuk menebus dosa  maka seseorang harus melakukan ritual-ritual tertentu tetapi itual itu tidak dapat mengahapus dosa secara permanen. Ketika orang itu melakukan dosa lagi, maka ia wajib untuk mempersembahkan korban dan melakukan ritual lagi untuk mengahapus dosa yang dilakukan. Realita ini tentu membuat manusia tergantung pada persembahan korban sebagai syarat penghapusan dosa dan hidup dibayang-bayangi oleh dosa. Yesus melalui kematian-Nya, mempersembahkan diri sebagai korban penyucian dosa yang permanen dan selama-lamanya bagi Semesta. Manusia tidak lagi hidup dalam bayang-bayang maut dan dosa melainkan manusia telah terbebas dari kuasa dosa dan ritual-ritual penghapusan dosa. Inilah makna Yesus sebagai penyelamat. Sedangkan pembebas selain mempunyai makna secara vertikal juga bermakna horizontal yakni Ia datang untuk merobohkan tembok-tembok agama, hukum, politik, kekuasaan yang menindas dan mendiskriminasi kaum lemah. Yesus semasa hidup-Nya melakukan banyak kritik untuk tokoh-tokoh agama, pemerintah dan masyarakat yang berlaku tidak benar. Yesus sebagai pembebas juga tergambar melalui karya-karya-Nya yang menyembuhkan dan memulihkan  orang sakit, melepaskan stigma buruk yang melekat dalam diri orang lemah hingga membangkitkan yang mati. Dengan karya tersebut ia membebaskan manusia dari jeratan penyakik dan beban batin yang menyengsarakan mereka. jadi terlihat sudah bahwa hidup, karya, ajaran, kematian dan kebangkitan Yesus merupakan anugerah yang menyelamatkan dan membebaskan manusia. Ia  adalah pembebas untuk keselamatan spiritual maupun sosial.

 2.    Yesus Membebaskan orang yang Kerasukan
Dalam hubungan dengan teologi pembebasan kita mengenal ada beberapa macam jenis teologi pembebasan salah satu di antaranya ialah pembebasan dari kuasa dosa. Entahlah kerasukan setan merupakan dosa atau bukan, tetapi menurut saya keadaan ini perlu tindakan pembebasan. Kristus dalam kesaksian injil-injil Markus 5:1-20, bnd. Matius 8:28-34 & Lukas 8:26-39 menceritakan tentang Yesus Kristus mengusir roh jahat dari seseorang yang ia jumpai di danau Geraza. Orang yang kerasukan menghampiri Yesus dari daerah kuburan bahkan ia sendiri tinggal di pekuburan dan bukan di dalam rumah. Kondisi orang ini sangat memprihatinkan, roh jahat yang merasukinya menguasai sepenuhnya hidup orang tersebut. Ia menjadi sangat berbahaya dan tidak dapat dikontrol oleh orang-orang di sekitarnya. Markus memberikan keterangan lebih rinci tentang kondisi orang tersebut: ia menjadi ancaman bagi dirinya sendiri dan orang lain. Masyarakat telah mencoba untuk mengikat orang itu dengan rantai namun ia selalu mampu melepaskan dirinya dari ikatan rantai tersebut sehingga orang-orang pun menjadi putus asa dan membiarkannya begitu saja.
Markus menuliskan “tidak ada seorangpun yang menjinakkannya (subdue/ damazo).” Kata damazo merupakan kata yang biasa digunakan ketika seseorang menjinakkan seekor binatang liar. Jadi  orang yang terbelunggu oleh kuasa jahat itu telah menjadi sama dengan binatang dan diperlakukan persis seperti seekor binatang. Ketika Yesus melihat orang yang kerasukan tersebut, Yesus telah terlebih dahulu memerintahkan mereka untuk keluar dari tubuh orang tersebut. Namun roh-roh jahat itu  memohon kepada Yesus untuk tidak menyiksa mereka. Meskipun demikian pada akhirnya Ia mengusir roh jahat itu dari tubuh orang tersebut.
Yesus melakukan pengusiran setan menurut saya bukan hanya untuk menampilkan kemahakuasaan-Nya sebagai Anak Allah tetapi juga karena kasih-Nya kepada sesama. Yesus ingin mengembalikan orang kerasukan itu pada dirinya yang sebenarnya sehingga orang itu tidak tertindas, dipermalukan, dikucilkan bahkan dianggap seperti binatang buas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dua arah, di satu sisi Ia bertindak sebagai yang berkuasa atas roh jahat dan di sisi lain ia adalah pembebas bagi manusia.
3.  Kisah penyembuhan yang dilakukan Petrus Kisah 3:1-10
Nats ini mengisahkan tentang penyembuhan yang dilakukan Petrus kepada orang yang lumpuh sejak lahirnya. Dalam ilmu hermeneutik ada berbagai bentuk metode tafsir yang bisa digunakan untuk memahami suatu teks. Tetapi saat ini saya tidak akan menggunakan secara rinci dan lengkap ayat pasal ini dengan menggunakan metode-metode tersebut melainkan saya akam melihat teks ini dengan paradigma teologi pembebasan.
Dalam konteks hidup zaman Yesus bahkan zaman perjanjian lama, orang miskin, orang cacat, kusta, buta, tuli, bisu dianggap menjijikan dan ditolak bahkan dikucilkan dalam masyarakat. Mereka harus berjuang sendiri dengan keras untuk mengahadapi stigma dan bertahan hidup. Petrus dengan iman teguh pada Yesus dan kuasa yang diberikan Yesus, membebaskan seseorang yang lumpuh sejak lahir. Yang Petrus lakukan merupakan sebuah pembebasan transformatif, sebab ia telah melakukan perubahan besar dalam hidup orang lumpuh itu. Ia mentransformasi keadaan fisik dari lumpuh menjadi bisa berjalan. Ia juga mentransformasi kehidupan sosial orang tersebut, dari yang dipandang hina dan berdosa menjadi orang yang layak diterima dalam masyarakat.

Kesimpulan
Setelah membahas singkat tentang dasar teologi pembebasan dalam perjanjian baru maka saya menyimpulkan, pembebasan selalu memiliki dua unsur yakni unsur spiritual dan sosial. Pembebasan yakni mendamaikan antara manusia dengan Allah (spiritual) dan mendamaikan relasi antara manusia dan manusia sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial. Metode yang digunakan Yesus dalam membebaskan manusia adalah dengan mengajar. Tujuan dari ajaran Yesus adlah untuk menanamkan nilai-nilai baru bagi manusia agar manusia dapat berbenah menjadi lebih mengasihi seorang akan yang lain. Kondisi ini oleh saya dilihat sebagai sebuah upaya pembebasan gagasan. Artinya, manusia zaman itu telah terkungkung dalam gagasan atau ide atau strigma yang membatasi dirinya dengan sesama karena faktor-faktor tertentu. Ajaran Yesus sejatinya ingin membuka kungkungan itu agar manusia tidak terperangkap di dalamnya sehingga dapat menciptakan keseimbangan dalam masyarakat. Di Era ini, perlu juga pembebasan gagasan. Dari gagasan indivualistis menjadi sosialis. Dari hedonis  dan konsumtif menjadi ugahari. Dari nepotisme, korupsi dan kolusi menjadi transparan dan jujur. Sehingga pada satu titik nanti, akan terjadi keseimbangan sosial.